Sewaktu "membongkar" folder di notebook saya, tanpa sengaja, saya menemukan foto mendiang kakek saya. Foto itu diambil sekitar tujuh tahun lalu sewaktu kakek saya masih hidup. Dalam foto itu, kakek saya tampak tertawa lebar. Sebuah pemandangan yang sampai saat ini sering membikin saya terharu.
Namun, yang bikin saya bingung ialah kebiasaan "buruk" beliau. Seumur hidupnya, beliau adalah perokok aktif. Dalam sehari beliau bisa menghabiskan sebungkus rokok lebih, dan rokok favoritnya ialah kretek.
Walaupun terus menghabiskan beberapa batang rokok dalam sehari, kesehatan beliau tetap terjaga. Malah, berat badan beliau terus bertambah.
Anehnya lagi, kakek saya juga jarang berolahraga secara fisik. Sejak berhenti bertani ketika memasuki usia delapan puluhan, beliau banyak menghabiskan waktunya di rumah.
Namun demikian, sepertinya beliau bukanlah orang yang "betah" berdiam diri, berbaring di ranjang sepanjang hari, atau duduk berjam-jam menonton acara televisi yang itu-itu saja.
Sebaliknya, beliau menyibukkan diri dengan mengurus semua keperluan rumah tangga. Kadang saya berpikir, "Bukankah orang yang sudah berumur sebaiknya jangan terlalu banyak beraktivitas seberat itu?"
Sayangnya, saya hanya bisa menyimpan pertanyaan itu dalam hati saja, sampai beliau meninggal dunia setelah terserang penyakit parah pada penghujung hidupnya.
Namun demikian, beberapa tahun kemudian, saya membaca buku The Blue Zones, karya Dan Buettner dan saya akhirnya mendapat jawaban atas pertanyaan tersebut. Dan Buettner adalah seorang jurnalis profesional yang mendapat "amanah" dari tempat kerjanya untuk mendokumentasikan manusia berumur di atas seratus tahun yang tinggal di pelbagai daerah di dunia.
Semua bayangannya tentang gaya hidup manula yang monoton, muram, dan kesepian "terpatahkan". Pasalnya, hidup mereka punya vitalitas yang tinggi.
Walaupun telah berusia lanjut, mereka tetap "getol" beraktivitas, seperti berjalan kaki beberapa kilometer, berkebun sepanjang hari, berkumpul dengan teman-teman sebaya yang juga berumur panjang, dan beternak di padang rumput yang luas.
Sesaat, semua aktivitas fisik itu mengingatkan saya pada semua kegiatan yang pernah dilakukan mendiang kakek saya dulu.
Setelah mendokumentasikan semua fenomena itu, Dan Buettner juga menyusun sejumlah resep hidup panjang umur berdasarkan pengamatannya. Satu di antara resep itu ialah rajin beraktivitas.
Sederhananya, Dan menganjurkan siapapun yang ingin tetap hidup sehat sampai usia tua untuk mulai giat bergerak. Namun demikian, anehnya, Dan tidak menyinggung bahwa kita wajib berolahraga, seperti pergi fitnes, mengunjungi gym, atau ikut maraton.
Pasalnya, semua orang berusia panjang yang diamatinya tidak pernah melakukannya. Mereka "hanya" menjalani kegiatan sehari-hari, yang menuntut aktivitas fisik. Makanya, semua aktivitas itu sudah dianggap sebagai "olahraga". Itu saja. Sederhana bukan?
Makanya, kemudian saya meniru gaya hidup demikian selama beberapa tahun. Pasalnya, saya menganggap bahwa kesehatan adalah suatu investasi yang penting untuk masa depan saya.
Percuma punya kekayaan berlimpah tanpa ditunjang kesehatan yang prima. Makanya, agar pada usia tua tetap bugar, sudah sejak muda, saya "memupuk" gaya hidup sehat.
Untuk mewujudkannya, satu jenis olahraga yang saya sukai ialah jalan kaki. Bagi saya, jalan kaki itu murah, mudah, dan meriah. Apalagi, kalau kita menjalaninya bersama-sama.
Misalnya saja, pada bulan April lalu, saya punya kesempatan mengitari sebuah bukit di kawasan Gunung Geulis, Bogor. Perjalanan yang menghabiskan waktu dua jam lebih itu terasa "singkat" dan "nyaman".
Belum lagi, aktivitas harian yang saya jalani juga "menuntut" gerak tubuh. Sejak bekerja di kawasan Jakarta Selatan, secara otomatis, tubuh saya menjadi lebih aktif bergerak.
Pasalnya, saya harus pulang-pergi naik kereta. Makanya, sepanjang jalan, saya terus berjalan ke sana-ke sini hingga harus tahan berdiri berdesak-desakan di gerbong. Bagi saya, semua itu ialah olahraga yang rutin saya lakukan.
Hasilnya? Tubuh saya jarang terserang penyakit. Pun berat badan saya turun akibat rutin naik-turun tangga stasiun. Hahahahahahahahahaha.
Misalnya saja, pada tanggal 29 Oktober lalu, saya mendapat kesempatan meliput acara maraton di kawasan Monas. Kegiatan itu jelas menuntut kebugaran yang maksimal.
Pasalnya, saya harus bangun subuh-subuh karena lomba maraton itu dimulai pada pukul lima pagi. Makanya, sejak pukul empat pagi, saya sudah berangkat menuju lokasi dengan menggunakan kereta dan jasa ojek online.
Setibanya di gerbang Monas, saya juga harus berjalan cukup jauh. Pasalnya, pintu masuk lomba maraton tersebut terletak di ujung sehingga saya harus berjalan memutari separuh Monas.
Belum lagi, selama acara, saya juga harus berjalan mondar-mandir, siaga mengamati situasi, dan bersiap memotret momen-momen unik yang terdapat di area lomba. Jangan sampai saya kehilangan momen-momen tersebut lantaran terus mengeluhkan rasa pegal di bahu.
Untungnya, saya membawa Geliga Krim di dalam tas. Saya memang sengaja membawanya untuk mengantisipasi kalau-kalau rasa pegal mulai terasa.
Makanya, di sela-sela beristirahat, setelah melakukan liputan sekitar empat jam lebih, saya mengoleskan Geliga Krim tersebut ke betis.Â
Pasalnya, bintang muda Persija tersebut memang menganjurkan kita agar mengoleskan krim sewaktu berolahraga untuk mencegah dan meringankan rasa pegal tersebut.
Setidaknya, rasa pegal yang saya rasakan sedikit berkurang. Apalagi, krim tersebut tidak lengket di kulit, seolah begitu dibaluri ke kulit, krim tersebut langsung meresap.
Karena keunggulan itulah, Geliga Krim terus menjadi produk unggulan dari tahun 2016 sampai 2017.
Pasalnya, saya masih sayang paru-paru saya, dan tentunya "kantong" saya. Hahahahahahahahahahahahaha.
Namun demikian, dengan rutin berolahraga, semua aktivitas yang penuh tantangan dapat "dilibas" sekaligus!
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com
Situs: https://www.geligakrim.com
Facebook: https://www.facebook.com/bebaspegal
Twitter: https://twitter.com/bebaspegal
Instagram: https://www.instagram.com/bebaspegal
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI