Obrolan saya dengan rekan kerja soal dunia percintaan dan rumah tangga akhirnya "melahirkan" sebuah simpulan yang menurut saya agak "eksentrik".
Awalnya saya hanya ingin minta sarannya soal membina hubungan dengan lawan jenis, serta mengetahui perbedaan antara masa pacaran dan pernikahan. Semua itu dilakukan karena saya perlu sudut pandang berbeda soal kehidupan pernikahan yang kelak akan saya jalani. Sederhananya, saya butuh "modal" berupa pengalaman sehingga setelah berkeluarga, perasaan "syok" dapat diredam dan konflik bisa diminimalkan.
Untungnya, teman kerja saya cukup bermurah hati. Dia mau menjelaskan pengalamannya secara panjang lebar. Dari ceritanya, saya jadi tahu bahwa dunia orang saat "berpacaran" berbeda jauh dengan dunia dalam "berumah tangga". Menurutnya, kehidupan rumah tangga lebih menekankan soal "tanggung jawab", sementara masa pacaran cenderung menggembar-gemborkan "perasaan" semata.
Makanya, pasangan yang sudah menikah harus mengesampingkan perasaan dan mengutamakan tanggung jawab. Apalagi setelah hadirnya seorang anak, tanggung jawab yang diemban sepasang suami-istri jauh lebih berat. Mereka harus bersedia bekerja sama demi kesuksesan keluarga yang dibinanya.
Setelah mendengar penjelasannya, saya menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan menarik napas panjang. "Baiklah, sepertinya pernikahan jauh lebih 'rumit' dan 'berat' daripada pacaran," kata saya dalam batin.
Pasalnya, untuk membangun sebuah keluarga yang akur, kita mesti menemukan seseorang yang sepikiran dan sesikap dengan kita. Namun demikian, itulah pesoalannya. Bagaimanakah kita menemukan pasangan yang tepat untuk kita? Bagaimana pula kita "menguji" bahwa pacar yang dimiliki saat ini adalah pasangan yang tepat dalam membina keluarga?
Pertanyaan itu mengawang di pikiran saya, sehingga saya langsung menanyakannya kepadanya. Dia menjelaskan bahwa setiap orang punya "kriteria tersendiri" dalam memilih pendamping hidupnya.
Namun demikian, dia menganjurkan supaya kita mengujinya terlebih dahulu. Jangan sampai kita salah memilih pasangan hanya karena otak kita sudah "dibanjiri" oleh bayangan parasnya yang rupawan.
Makanya, kemudian dia menawarkan tiga cara untuk mengetes calon pendamping berikut.
Bersediakah dia berpanas-panasan sewaktu mengunjungi suatu tempat?
Saran tersebut memang terdengar agak "aneh". Namun demikian, tujuannya jelas. Semua itu dilakukan untuk menguji daya tahan pasangan terhadap perubahan lingkungan, serta mengukur tingkat kesabarannya.
Pasalnya, saat mulai tinggal bersama di sebuah rumah, perubahan jelas terjadi. Bisa saja dia merasa kurang nyaman karena suasana rumah baru yang ditinggalinya jauh berbeda dengan lingkungan tempat tinggalnya terdahulu.
Bisa juga dia terus mengeluh bahwa tempat tinggalnya kurang pas, kurang enak, dan kurang cocok ditinggalinya. Sederhananya, dia susah move on dari tempat tinggalnya yang dulu.
Makanya, boleh dibilang kalau dia sulit beradaptasi dengan perubahan, yang jelas-jelas akan terjadi sewaktu pasangan mengarungi bahterah rumah tangga. Kalau sudah terjadi demikian, bisakah kita terus tinggal serumah dengan pasangan yang terus mengeluh seperti itu?
Untuk itulah kita perlu mengujinya dengan mengajaknya ke suatu tempat di alam terbuka sebelum kita menjadikannya pendamping hidup. Biarlah respon yang diperlihatkannya menjadi bahan penilaian kita.
Bersediakah dia diajak makan di pinggir jalan?
Sewaktu teman saya menyebutkan poin tersebut, saya sempat "garuk-garuk kepala". Namun, setelah mendengar penjelasannya lebih lanjut, saya lebih mahfum. Pasalnya, cara tersebut bertujuan menguji apakah dia "gengsi" makan di emperan jalan.
Lebih lanjut, teman saya mengatakan bahwa sewaktu berkeluarga, tidak bisa selamanya kita menyantap makanan enak terus. Apalagi kalau ekonomi keluarga sedang "seret", mau-tidak mau, kita mesti membatasi "gaya" makan kita.
Misalnya, kalau biasanya kita nongkrong di Starbucks untuk menyeruput segelas kopi yang "nikmat" dan "mahal", setelah terjadi perubahan ekonomi, bersediakah kita hanya menikmati segelas kopi tubruk di warung kopi?
Bagi saya, itu soal pilihan, dan pilihan tersebut bisa menjadi "bahan pertimbangan", termasuk dalam memilih pasangan.
Bersediakah dia menerima hadiah layak berharga murah dari kita?
Lagi-lagi itu menyangkut soal "gengsi". Pernahkah pembaca menjumpai seseorang yang enggan menerima pemberian berharga murah dari seseorang? Kalau pun pernah, dia pasti mengambilnya dengan ekspresi kurang senang.
Itu adalah sesuatu yang wajar. Soalnya, ekspresi wajah mencerminkan isi hati seseorang. Namun demikian, bersediakah kita menikahi seseorang yang "segan" menerima suatu pemberian apa adanya? Bersediakah kita tinggal satu atap dengan orang yang mengukur suatu barang dari "nilai rupiahnya", daripada "ketulusan hati" si pemberi?
Sekiranya itulah beberapa cara yang saya simak dari pengalaman rekan kerja saya yang menurut saya sudah "makan asam-garam" dalam percintaan. Saya perlu menekankan bahwa aspek penilaian itu sangatlah subjektif. Persoalan dalam memilih pasangan hidup itu jelas "sulit", tapi lebih "sulit" lagi kalau kita harus menjalani pernikahan dengan orang yang salah.
Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H