Saya sebetulnya agak ironi mendengar cerita seorang kenalan saya bahwa untuk menutupi semua biaya pengobatannya, dia "terpaksa" mengandalkan bantuan dari teman-temannya.
Saat itu, dia sedang terkena penyakit berat dan harus segera dioperasi. Namun, lantaran tak punya cukup uang untuk membayar operasi tersebut, pihak keluarga mencoba menghubungi siapapun yang kenal dengannya. Barangkali saja, ada yang bersedia membantu meringankan beban yang harus ditanggung oleh keluarga akibat peristiwa tersebut.
Untungnya, kenalan saya mempunyai teman-teman yang bersedia menolongnya. Mereka patungan membiayai perawatannya di rumah sakit, bahkan bersedia membayar sebagian biaya operasinya. Sungguh perbuatan yang mulia. Saya pun ikut memberi bantuan sekadarnya karena saya menyaksikan sendiri bagaimana kalutnya pihak keluarga sewaktu mencari bantuan. Saya ikut berempati sekaligus mendoakan kesembuhan baginya.
Namun, yang bikin saya heran ialah cerita yang dituturkan oleh pihak keluarga. Mereka sempat menyinggung bahwa kenalan saya tak punya cukup tabungan. Saya sempat bingung. Padahal, setahu saya, dia sudah bekerja sekian tahun di sebuah perusahaan di Jakarta dan belum berkeluarga. "Masa dia enggak punya duit sepeser pun di rekening?" Saya sempat membatin.
Namun, entah cerita itu betul atau tidak, setidaknya ada sebuah hikmah yang bisa "dipetik" dari pengalaman tersebut bahwa dalam menghadapi situasi "genting" seperti kisah di atas, kita harus mempunyai dana di rekening. Kalau nasib apes menimpa kita, dana tersebut bisa dipakai untuk "menyelamatkan" diri sendiri, sehingga kita tak terlalu membebani keluarga.
Makanya, sejak dulu, sewaktu masih aktif bekerja, saya rajin menyisihkan sebagian pendapatan untuk ditabung. Bagi saya, menabung itu "prioritas". Pemikiran itu barangkali terbentuk karena sejak kecil, papa-mama saya sering mengajarkan dan menganjurkan agar saya menabung.
Saya ingat sewaktu masih SD dulu, saya sering menggunakan sebagian duit jajan saya untuk ditabung. Mekanismenya memang sederhana. Saya menyetorkan sejumlah uang, dan wali kelas saya kemudian mencatatnya di buku tabungan. Pada saat kenaikan kelas, tabungan tersebut baru bisa "cair". Nilainya memang tidak seberapa, tapi saya belajar banyak dari situ. Sebuah "bekal" kecerdasan finansial yang sungguh bermanfaat sewaktu saya terjun di dunia kerja.
Namun demikian, tidak semua orang punya "kesempatan" dan "kemauan" untuk menabung. Selalu saja ada halangannya manakala kita ingin menyimpan sebagian pendapatan untuk tabungan. Satu hal yang bisa menjadi "batu sandungan" dalam membiasakan diri untuk menabung ialah mindset kita.
Selama ini, umumnya, kita punya pola pikir belanja dulu-tabung kemudian. Makanya, begitu mendapat gaji, kita biasanya akan menghabiskannya untuk pelbagai kebutuhan dan keinginan terlebih dulu, lalu kalau ada sisanya, barulah kita menabungnya.
Itu pun jika "masih" tersisa, sebab umumnya, dengan memakai pola demikian, jarang ada dana lebih. Biasanya semua dana "ludes" terserap ke pelbagai hal. Bagaimana saya bisa tahu? Pengalaman yang sudah membuktikannya. Hahahahahahaha.
Nah, setelah membaca sejumlah buku finansial, saya akhirnya menyadari kalau pola demikian ternyata keliru. Yang tepat ialah pola tabung dulu-belanja kemudian. Kalau menerapkan pola tersebut, kita memprioritaskan menabung di atas daftar kebutuhan lainnya. Makanya, sebanyak apapun keperluan yang mesti dibayar dan dilunasi, kita masih punya cadangan dana.