Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Akankah Sarahah Juga "Bernasib" Seperti Telegram?

22 Agustus 2017   07:31 Diperbarui: 22 Agustus 2017   18:03 5712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kolom peringkat aplikasi di koran kompas (sumber foto: dokumentasi pribadi)

Malam minggu kemarin, teman-teman saya asyik membicarakan sebuah aplikasi. Namanya Sarahah. Berdasarkan informasi yang masuk ke telinga saya, Sarahah itu sejenis media sosial.

Namun demikian, alih-alih ikut memakainya, saya malah tak tertarik. Pasalnya, di tab saya, sudah ada beberapa media sosial, seperti facebook, instagram, dan line.

Jadi, kalau bertambah satu lagi, saya khawatir media sosial itu hanya akan "membebani" kinerja tab saya. Memori di tab tentunya juga akan "termakan" akibat kehadiran aplikasi itu.  Belum lagi kouta internet yang akan tersedot manakala aplikasi itu dipakai atau "minta" di-update.

Makanya, sampai sekarang, saya belum juga mengunduhnya di playstore, biarpun di medsos lainnya, macam instagram, saya melihat sudah banyak kenalan saya yang menggunakannya.

Namun demikian, pada hari Minggunya, sewaktu membolak-balik halaman koran Kompas, saya justru mendapati aplikasi itu di sebuah kolom. Kolom itu menyebutkan peringkat aplikasi yang paling sering diunduh di playstore atau appstore.

Anehnya, di situ, saya menemukan bahwa Sarahah bercokol di peringkat satu appstore sebagai aplikasi yang sangat sering diunduh sejak tanggal 11-18 Agustus 2017.

Makanya, kemudian saya menjadi agak kepo. Apa sih yang bikin orang tertarik memakainya? Fitur apa saja yang ditawarkannya?

Berdasarkan informasi yang saya baca di situs fortune.com, kata Sarahah diambil dari bahasa Arab, yang maknanya "keterbukaan". Aplikasi tersebut diciptakan oleh seorang pengembang asal Arab Saudi, Zain al-Abidin Tawfiq.

Aplikasi itu awalnya dibikin dalam bentuk website dengan tujuan agar para karyawan yang bekerja di suatu instansi bisa bebas menyampaikan uneg-uneg-nya kepada atasan tanpa perasaan sungkan atau takut.

Tawfiq tampaknya jeli juga melihat "masalah tersembunyi" yang dialami oleh para pegawai. Dia menyadari bahwa setiap pekerja umumnya punya persoalan yang ingin disampaikan kepada atasannya.

Namun, karena malu menyampaikan secara langsung, mereka biasanya hanya memendam sendiri semua permasalahan itu di dalam hati, atau menyampaikannya kepada rekan kerja tertentu saja.

Makanya, kemudian Taufiq menciptakan Sarahah. Di situ, dia berharap karyawan bisa bebas "curhat" kepada atasannya, terutama soal pekerjaan, lantaran pesan yang dikirim bisa dianonimkan. Jadi, atasan tak akan mengetahui siapa yang telah "curhat" kepadanya, dan juga tak bisa membalas curhat tersebut lantaran tak jelas alamatnya.

Biarpun ditujukan untuk para pekerja, anehnya, aplikasi itu justru lebih banyak dipakai oleh masyarakat umum. Dari situ, sebetulnya, kita sudah bisa menebak "potensi risiko" yang akan muncul kalau aplikasi itu disalahgunakan oleh masyarakat.

Risiko yang mungkin muncul ialah "perundungan siber" (cyber bullying). Biarpun sampai sekarang telinga saya belum mendengar kabar adanya kasus demikian yang disebabkan oleh pemakai Sarahah, hal itu tetaplah bikin was-was.

Pasalnya, di Sarahah, kita bisa mengirim pesan secara anonim, sehingga tak bisa melacak siapa pengirimnya. Makanya, media itu bisa menjadi "arena permainan baru" bagi para pembuli untuk melecehkan korbannya.

Jika melihat risiko tersebut, saya jadi teringat oleh kasus yang dialami oleh Telegram. Aplikasi asal Rusia itu sempat diblokir pemakaiannya oleh pemerintah lantaran menjadi media yang sering dipakai teroris untuk berkomunikasi.

Semua itu terjadi lantaran telegram mempunyai sejumlah fitur, seperti "secret chat" dan "destruct" yang memungkinkan penggunanya berkomunikasi secara diam-diam dan menghapus pesan yang sudah dikirimnya secara otomatis.

Makanya, daripada terus bikin "gerah", pemerintah akhirnya memutuskan memblokir akses Telegram, biarpun belakangan aplikasi dibolehkan kembali setelah terjadinya suatu kesepakatan antara pemerintah dan manajemen Telegram.

Nah, kalau berkaca pada kasus Telegram, akahkah Sarahah juga akan mengalami hal yang sama?

---

Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com
Referensi:
"What You Need to Know About Sarahah, the Hot New Anonymous Messaging App," fortune.com, diakses pada tanggal 22 Agustus 2017.
 "Mengenal Telegram, Aplikasi yang Bikin 'Gerah' Pemerintah," cnnindonesia.com, diakses pada tanggal 22 Agustus 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun