Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Di dalam "Seni", Bunga yang Fana Menjadi "Abadi"

29 Juli 2017   17:12 Diperbarui: 17 Agustus 2017   09:07 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lukisan karya keira rathbone (sumber: www.keirarathbone.com)

Jika pelukis umumnya menggunakan sejumlah peralatan, seperti pensil, kuas, dan cat minyak, untuk menciptakan karya yang hebat, Keira Rathbone justru memakai cara yang nyeleneh. Seniman asal Inggris itu memanfaatkan mesin tik untuk melukis sebuah sketsa.

Awalnya saya pun kaget sekaligus tercengang. Bagaimana sebuah mesin tik dipakai menggambar sebuah lanskap? Namun, begitu membaca sejumlah artikel dan menyaksikannya sendiri di youtube, saya baru yakin.

keira rathbone sedang menggambar dengan mesin tiknya (sumber: www.rediff.com)
keira rathbone sedang menggambar dengan mesin tiknya (sumber: www.rediff.com)
Bagi saya, apa yang sudah dilakukan oleh Keira "memantik" sebuah inspirasi. Betapa tidak, dari tiap tuts yang ditekan bisa lahir puluhan sketsa bangunan dan wajah-wajah orang terkenal!

Keira menyebut bahwa spealisasinya memang terletak di sketsa. Makanya, jangan heran sewaktu akan membikin karya, dia bisa nongkrong di sudut kota selama berjam-jam, dan mulai menggambar pemandangan dengan mesin tiknya.

Luar biasa!

lukisan karya keira rathbone (sumber: www.keirarathbone.com)
lukisan karya keira rathbone (sumber: www.keirarathbone.com)

Hal itu kemudian "menyengat" naluri seni saya. Makanya, kemudian saya pun tertarik membikin sebuah sketsa sederhana. Hal itu sekaligus melampiaskan hobi saya dalam menggambar.

Pada waktu luang, asalkan ada sebuah inspirasi, saya biasanya membuat sketsa. Dari kegiatan itu telah lahir sejumlah karya dari "seniman amatir" ini. Sebut saja sketsa bunga mungil yang saya buat pada sabtu pagi, tanggal 29 Juli lalu.

Ide pembuatan sketsa itu berawal ketika saya menemukan sebuah tanaman bunga di halaman rumah. Seingat saya, saya tak pernah menanam bunga apapun. Namun, tiba-tiba saja, bunga itu tumbuh dengan sendirinya.

walaupun tak pernah ditanam, bunga di atas tumbuh dengan sendirinya (sumber: dokumentasi pribadi)
walaupun tak pernah ditanam, bunga di atas tumbuh dengan sendirinya (sumber: dokumentasi pribadi)
Kehadiran bunga itu jelas memberi warna tersendiri di halaman rumah. Kalau biasanya hanya lewat begitu saja, tapi sejak adanya tanaman itu, saya jadi sering berhenti sejenak, sekadar menikmati keindahan yang ditawarkannya. Akhirnya, kemudian muncul sebuah ide untuk mengabadikannya dalam sebuah sketsa.

Untuk membuat sebuah sketsa, kita perlu menyiapkan sejumlah peralatan, seperti pensil, penghapus, rautan, pulpen, spidol warna, dan papan gambar. Semua itu ialah "modal" yang wajib dimiliki untuk menciptakan sebuah karya.

peralatan membuat sketsa (sumber: dokumentasi pribadi)
peralatan membuat sketsa (sumber: dokumentasi pribadi)
Selain itu, kita juga perlu mempersiapkan modal lainnya, yaitu "kesabaran" dan "ketekunan" sebab kita harus mengerahkan semua perhatian dan mengerjakan setiap bagian dengan cermat. Makanya, kadang aktivitas itu "memakan" banyak waktu, kadang bisa selesai dalam hitungan jam, kadang pula hitungan hari.

Semua itu tentunya bergantung pada tingkat kedetailan suatu karya. Semakin detail suatu karya, biasanya semakin lama waktu pengerjaannya. Jadi, jalani saja semua prosesnya dengan santai dan gembira. Percayalah hasilnya pun akan bikin puas.

Namun, bagaimana dengan bakat? Jika disodori pertanyaan demikian, saya teringat pada kunjungan saya ke pabrik Faber-Castell di Cibitung pada tanggal 11 Juli lalu. Kunjungan itu tak hanya menyegarkan ingatan saya soal aktivitas menggambar, tetapi juga menggaungkan slogan "art for all" (art4all).

kunjungan ke pabrik faber-castell di kawasan cibitung (sumber: dokumentasi pribadi)
kunjungan ke pabrik faber-castell di kawasan cibitung (sumber: dokumentasi pribadi)
Slogan itu menegaskan bahwa kegiatan kesenian, khususnya melukis, bisa dilakukan oleh siapapun tanpa memandang usia, pekerjaan, dan bakat. Jadi, jangan minder untuk menyalurkan ekspresi seni yang terpendam di hati. Luapkan saja. Temukan kesenangan di dalamnya.

Dari situ sebetulnya kita akan mendapat segudang manfaat. Misalnya saja saat menggambar suatu objek, kita akan menemukan kegembiraan dan meningkatkan kemampuan memori. Makanya, jangan heran kalau sewaktu mengunjungi sebuah paud atau tk, kita akan melihat keceriaan dalam diri anak-anak dalam menggoreskan pensil di kertas atau mewarnai suatu gambar.

Rasanya bebas saja, seolah tanpa beban. Mereka justru melakukannya dengan happy lantaran tak memikirkan soal bakat. Makanya, saya sependapat dengan Piccaso yang menyebut bahwa setiap anak adalah seorang seniman.

Namun, masalahnya, bagaimana kita tetap mempertahankan "jiwa seni" itu setelah kita dewasa? Semua itu menjadi persoalan tersendiri lantaran umumnya begitu seseorang menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah, kegiatan berkesenian seolah dilupakan.

Hanya sedikit yang masih menjalankannya setelah lulus sekolah. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh orientasi pelajaran kesenian di sekolah. Sebagaimana diketahui, pelajaran itu lebih difokuskan pada aspek nilainya, bukan kesenangannya. Makanya, anak-anak yang mendapat nilai jelek pada mata pelajaran kesenian menjadi putus asa dan merasa tak berbakat.

Jadi, daripada pusing memikirkan apakah kita berbakat atau tidak, lebih baik jalani saja. Lakukan dengan penuh kegembiraan, dan kemudian kita akan merasa lebih percaya diri untuk berkarya.

Hal itulah yang "meneguhkan" keyakinan saya dalam membikin sketsa. Makanya, sewaktu menetapkan sebuah objek yang akan dilukis, biasanya saya langsung take action.

Seperti membangun sebuah gedung, awalnya kita perlu membuat garis konstruksi pada gambar. Garis itu bertujuan memberi bentuk awalnya. Makanya, agar lebih mudah, saya menggunakan pensil. Jadi, kalau salah gores, saya bisa menghapusnya dan membikin garis yang baru.

pembuatan garis konstruksi (dokumentasi pribadi)
pembuatan garis konstruksi (dokumentasi pribadi)
Saya memakai pensil 4B Faber-Castell karena bisa menciptakan garis yang punya ketebalan gradasi yang berbeda. Dengan perlahan, saya membuat garis tipis sesuai dengan tekstur objek.

Setelah selesai, barulah saya membalasnya dengan pulpen. Selain mempertegas garis yang telah dibuat, penggunaan pulpen juga bertujuan menambah tekstur gambar yang terlewat.

penebalan garis dengan memakai pulpen (sumber: dokumentasi pribadi)
penebalan garis dengan memakai pulpen (sumber: dokumentasi pribadi)
Selanjutnya, kita mengarsir gambar. Saya memilih spidol Connector Pen dari Faber-Castell untuk melakukan pengarsiran. Dari semua spidol warna yang pernah saya pakai, Connector Pen punya desain yang berbeda. Setiap tutupnya dapat terhubungan, sehingga sewaktu kita memakainya, spidol itu tak tercecer.

Selain itu, andaikan tinta spidolnya habis, kita masih bisa memanfaatkannya. Dari situ kita bisa menyusun menjadi beragam bentuk, seperti candi atau mobil-mobilan, layaknya permainan lego. Unik, bukan?

desain mobil balap yang disusun dari connector pen (sumber: dokumentasi pribadi)
desain mobil balap yang disusun dari connector pen (sumber: dokumentasi pribadi)
Ada tiga teknik pengarsiran yang saya lakukan, yaitu contour, shading,dan pointilism. Ketiga teknik itu diterapkan secara bergantian bagian demi bagian, sehingga beginilah hasilnya.

proses pengarsiran (sumber: dokumentasi pribadi)
proses pengarsiran (sumber: dokumentasi pribadi)
"Di dalam seni, bunga yang fana menjadi 'abadi'." Barangkali kalimat itulah yang bisa secara pas menggambarkan perasaan sukacita yang saya alami setelah selesai mengerjakannya.

karya yang sudah selesai (sumber: dokumentasi pribadi)
karya yang sudah selesai (sumber: dokumentasi pribadi)
bunga dalam sketsa dan yang nyata (sumber: dokumentasi pribadi)
bunga dalam sketsa dan yang nyata (sumber: dokumentasi pribadi)
Seperti ungkapan yang pernah disampaikan oleh Penyair WS Rendra, seni itu selalu "hadir" dan "mengalir". Semua kegiatan kesenian, termasuk menggambar, bukanlah milik orang-orang tertentu saja, melainkan milik semua orang.

Makanya, setiap orang bebas mengekspresikan perasaan seninya lewat media apapun, termasuk lukisan, sebagaimana disuarakan oleh Faber-Castell lewat slogan "Art for All"-nya.

Salam.

Adica Wirawan, founder Gerairasa.com

Referensi:

 "Typewriter artist a font of creativity", reuters.com, diakses pada tanggal 29 Juli 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun