Jika pelukis umumnya menggunakan sejumlah peralatan, seperti pensil, kuas, dan cat minyak, untuk menciptakan karya yang hebat, Keira Rathbone justru memakai cara yang nyeleneh. Seniman asal Inggris itu memanfaatkan mesin tik untuk melukis sebuah sketsa.
Awalnya saya pun kaget sekaligus tercengang. Bagaimana sebuah mesin tik dipakai menggambar sebuah lanskap? Namun, begitu membaca sejumlah artikel dan menyaksikannya sendiri di youtube, saya baru yakin.
Keira menyebut bahwa spealisasinya memang terletak di sketsa. Makanya, jangan heran sewaktu akan membikin karya, dia bisa nongkrong di sudut kota selama berjam-jam, dan mulai menggambar pemandangan dengan mesin tiknya.
Luar biasa!
Hal itu kemudian "menyengat" naluri seni saya. Makanya, kemudian saya pun tertarik membikin sebuah sketsa sederhana. Hal itu sekaligus melampiaskan hobi saya dalam menggambar.
Pada waktu luang, asalkan ada sebuah inspirasi, saya biasanya membuat sketsa. Dari kegiatan itu telah lahir sejumlah karya dari "seniman amatir" ini. Sebut saja sketsa bunga mungil yang saya buat pada sabtu pagi, tanggal 29 Juli lalu.
Ide pembuatan sketsa itu berawal ketika saya menemukan sebuah tanaman bunga di halaman rumah. Seingat saya, saya tak pernah menanam bunga apapun. Namun, tiba-tiba saja, bunga itu tumbuh dengan sendirinya.
Untuk membuat sebuah sketsa, kita perlu menyiapkan sejumlah peralatan, seperti pensil, penghapus, rautan, pulpen, spidol warna, dan papan gambar. Semua itu ialah "modal" yang wajib dimiliki untuk menciptakan sebuah karya.
Semua itu tentunya bergantung pada tingkat kedetailan suatu karya. Semakin detail suatu karya, biasanya semakin lama waktu pengerjaannya. Jadi, jalani saja semua prosesnya dengan santai dan gembira. Percayalah hasilnya pun akan bikin puas.
Namun, bagaimana dengan bakat? Jika disodori pertanyaan demikian, saya teringat pada kunjungan saya ke pabrik Faber-Castell di Cibitung pada tanggal 11 Juli lalu. Kunjungan itu tak hanya menyegarkan ingatan saya soal aktivitas menggambar, tetapi juga menggaungkan slogan "art for all" (art4all).
Dari situ sebetulnya kita akan mendapat segudang manfaat. Misalnya saja saat menggambar suatu objek, kita akan menemukan kegembiraan dan meningkatkan kemampuan memori. Makanya, jangan heran kalau sewaktu mengunjungi sebuah paud atau tk, kita akan melihat keceriaan dalam diri anak-anak dalam menggoreskan pensil di kertas atau mewarnai suatu gambar.
Rasanya bebas saja, seolah tanpa beban. Mereka justru melakukannya dengan happy lantaran tak memikirkan soal bakat. Makanya, saya sependapat dengan Piccaso yang menyebut bahwa setiap anak adalah seorang seniman.
Namun, masalahnya, bagaimana kita tetap mempertahankan "jiwa seni" itu setelah kita dewasa? Semua itu menjadi persoalan tersendiri lantaran umumnya begitu seseorang menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah, kegiatan berkesenian seolah dilupakan.
Hanya sedikit yang masih menjalankannya setelah lulus sekolah. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh orientasi pelajaran kesenian di sekolah. Sebagaimana diketahui, pelajaran itu lebih difokuskan pada aspek nilainya, bukan kesenangannya. Makanya, anak-anak yang mendapat nilai jelek pada mata pelajaran kesenian menjadi putus asa dan merasa tak berbakat.
Jadi, daripada pusing memikirkan apakah kita berbakat atau tidak, lebih baik jalani saja. Lakukan dengan penuh kegembiraan, dan kemudian kita akan merasa lebih percaya diri untuk berkarya.
Hal itulah yang "meneguhkan" keyakinan saya dalam membikin sketsa. Makanya, sewaktu menetapkan sebuah objek yang akan dilukis, biasanya saya langsung take action.
Seperti membangun sebuah gedung, awalnya kita perlu membuat garis konstruksi pada gambar. Garis itu bertujuan memberi bentuk awalnya. Makanya, agar lebih mudah, saya menggunakan pensil. Jadi, kalau salah gores, saya bisa menghapusnya dan membikin garis yang baru.
Setelah selesai, barulah saya membalasnya dengan pulpen. Selain mempertegas garis yang telah dibuat, penggunaan pulpen juga bertujuan menambah tekstur gambar yang terlewat.
Selain itu, andaikan tinta spidolnya habis, kita masih bisa memanfaatkannya. Dari situ kita bisa menyusun menjadi beragam bentuk, seperti candi atau mobil-mobilan, layaknya permainan lego. Unik, bukan?
Makanya, setiap orang bebas mengekspresikan perasaan seninya lewat media apapun, termasuk lukisan, sebagaimana disuarakan oleh Faber-Castell lewat slogan "Art for All"-nya.
Salam.
Adica Wirawan, founder Gerairasa.com
Referensi:
 "Typewriter artist a font of creativity", reuters.com, diakses pada tanggal 29 Juli 2017.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI