Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apa Makna Huruf "t" pada Kata "Utang"?

27 Juli 2017   08:20 Diperbarui: 28 Juli 2017   17:53 2930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: https://www.thebalance.com

Sewaktu akan mengetik artikel itu, tiba-tiba saja tangan saya menjadi agak "berat". Maklum saja, topik yang akan diulas kali ini bersifat "sensitif". Namun demikian, akhirnya saya menulisnya juga lantaran barangkali saja ada manfaat yang bisa diperoleh.

Tulisan ini "berangkat" dari sebuah berita yang saya simak beberapa hari yang lalu. Berita itu menyebutkan bahwa Universitas Surya sedang mengalami masalah keuangan.

Seperti dikutip dari laman tempo.co, semua masalah itu berawal ketika manajemen kampus menerapkan sistem student loan dalam pembiayaan kuliah. Sistem demikian sebetulnya sudah diterapkan sejumlah kampus di Eropa dan Amerika Serikat, sehingga manajemen Universitas Surya kemudian tertarik mengadopsinya di Indonesia.

Sistem tersebut bertujuan membantu siswa yang ingin melanjutkan kuliah, tapi "terbentur" ongkos kuliah yang mahal. Jika memanfaatkan sistem tersebut, siswa dibolehkan meminjam sejumlah uang ke bank tertentu untuk membiayai kuliahnya, dan setelah lulus, barulah dia membayar cicilannya.

Dengan demikian, orangtua siswa tersebut tak perlu pusing memikirkan dana ini-itu, yang umumnya banyak ditarik dari sejumlah kegiatan kampus. Selain itu, siswa menjadi lebih fokus belajar tanpa harus bekerja paruh waktu untuk membayar tagihan pendidikannya.

Nanti, begitu mendapat pekerjaan, siswa tersebut bisa melunasi kredit tersebut secara bertahap. Sederhana? Belum tentu. Biarpun menawarkan kemudahan bagi orangtua dan siswa yang bersangkutan, sistem tersebut bukannya tanpa risiko. Telah banyak terjadi kasus "kredit macet" lantaran setelah lulus, siswa tersebut sulit mendapat pekerjaan.

Walaupun "sudah" mengantongi ijazah dari kampus terkenal, belum tentu siswa tersebut langsung memperoleh pekerjaan dengan gaji besar. Selembar ijazah ternyata bukanlah "jaminan masa depan" yang pasti. Makanya, mereka harus tetap bersaing dengan ratusan atau bahkan ribuan fresh graduate lainnya agar bisa bekerja sesuai dengan keinginannya.

Namun demikian, apabila terus gagal mendapat pekerjaan, mereka tetap harus menanggung utang kuliah. Apalagi bunga utangnya terus "membengkak". Duh! Bisa dibayangkan apa jadinya kalau kita menjadi penganggur dengan setumpuk utang yang harus dibayar plus bunga yang "menggurita". Pastinya kita akan depresi!

Kembali ke topik. Hal itulah yang kemudian "menjerat" manajemen Universitas Surya. Lantaran membiayai operasional kampus, seperti membayar gaji karyawan dan fasilitas gedung, dengan menggunakan dana dari student loan, manajemen akhirnya harus menanggung utang sebesar 16 miliyar kepada Bank Mandiri.

Hal itu diperparah dengan timbulnya kredit macet lantaran ada orangtua mahasiswa yang sulit membayar cicilan pendidikan. Akhirnya, hal itu "menyeret" orangtua lainnya, sehingga berdampak secara keseluruhan. Akibatnya, sejumlah orangtua dan dosen mulai meninggalkan kampus yang dibesarkan oleh Yohanes Surya tersebut.

Andaikan Huruf "t" pada Kata Utang "Ditendang"

Tak hanya sebuah organisasi atau lembaga tertentu, persoalan utang-piutang seperti itu tentu dapat terjadi pada siapapun. Pernah dengar kabar seseorang yang rela menggadaikan rumahnya untuk membayar utang? Saya pernah. Namun demikian, bukan itu yang akan saya bahas berikutnya.

Saya justru lebih tertarik membahas soal "penyebab" seseorang menjual rumahnya hanya untuk melunasi utang. Kalau dicermati dengan saksama, boleh jadi, penyebab semua persoalan itu ialah huruf "t" pada kata "utang".

Akibat adanya huruf "t" tersebut, muncul permasalahan yang pelik. Makanya, andaikan huruf itu boleh dibuang, kata yang terbaca tentu jauh lebih enak dilihat: uang.

Namun, ternyata huruf "t" ogah lepas dari kata tersebut. Huruf itu seolah memberi "rambu-rambu" bahwa siapapun yang hendak berutang wajib mewaspadainya.

Maka, kira-kira apa makna huruf "t" yang terhimpit di tengah barisan kata "utang"?

Tunda.

Ternyata itulah makna tersembunyi dari huruf "t" tersebut. Akibat kita sering menunda membayar utang, bukankah masalah yang tadinya kecil berubah menjadi besar sehingga kita sulit menyelesaikannya?

Makanya, pada saat mengambil utang, saya merasa was-was. Karena sudah belajar dari pengalaman orang lain, begitu sudah punya dana lagi, buru-buru saya melunasinya. Jangan sampai pelunasan utang ditunda terlalu lama sehingga saya kewalahan sendiri membayarnya.

Sikap itu terbentuk setelah saya mendengar sekian banyak "cerita horor" dari seseorang yang terjerat utang. Misalnya saja kasus salah satu langganan toko saya yang terlilit utang hingga setengah miliar lebih.

Kisahnya begini. Sebagai seorang pedagang, ia sering menyetok barang dari toko saya. Kegiatan itu terus berlangsung sekian tahun hingga suatu hari ia memutuskan berhenti berdagang.

Usut punya usut ternyata ia punya utang yang sangat besar. Lebih dari setengah miliyar rupiah. Saya tak mengetahui ke mana saja uang itu mengalir, tapi bisa ditebak kalau pasti telah terjadi "kebocoran" anggaran.

Bisa jadi ia sering menunda membayar utang, atau sering berutang sana-sini, atau bahkan memboroskan uangnya untuk memenuhi keinginannya alih-alih melunasi utang-utangnya. Makanya, kemudian ia terjerat utang sedemikian besar.

Karena tokonya terus-terusan sepi pembeli, akhirnya ia memutuskan menutupnya. Percuma saja tetap berbisnis dalam kondisi demikian. Bisa-bisa utang yang dimilikinya malah semakin "menggunung".

Namun, ternyata itu tak juga menyelesaikan masalah. Sales mulai berdatangan menagih utang. Setiap akan menerima telepon dari sales, ia menjadi sangat ketakutan. Bingung harus berbicara apa.

Akhirnya ia memutuskan "kabur" ke suatu daerah. Pergi sejauh-jauhnya dari kejaran sales yang terus menuntutnya. Namun demikian, perasaan bersalah terus "menghantui" hidupnya.

Bisa dibayangkan kondisi demikian. Sudah tanpa penghasilan, hidup harus dibayangi jerat utang.

Sejak saat itu, saya tak mendengar kabarnya lagi. Namun, pada bulan Ramadhan kemarin, tiba-tiba saja ia mendatangi toko saya.

Di situ ia bercerita bahwa ia telah menikah lagi. Setelah sekian tahun menjanda, akhirnya ia menemukan pasangan hidupnya kembali.

Mujurnya, suaminya juga bersedia menerimanya apa adanya, termasuk semua utang yang ditanggungnya. Makanya, suaminya berkenan membayar semua utangnya!

Sewaktu bertandang ke toko saya, ia terlihat jauh lebih happy lantaran telah melunasi semua utang-utangnya. Sebuah akhir yang "indah" dari suatu masalah yang pelik!

Sayangnya, tak semua orang, khususnya yang terjerat utang, punya kisah seindah itu. Makanya, sebisa mungkin, dalam menjalani hidup, kita bebas dari utang. Rasanya jauh lebih "merdeka". Kerja enak. Tidur pun nyenyak.

Namun, andaikan betul-betul harus berutang, pastikan dana tersebut dipakai untuk memenuhi suatu kebutuhan, bukannya melampiaskan keinginan, dan tentunya begitu mendapat pemasukan lagi, segeralah bayar utang tersebut sebelum utang itu "meneror" hidup kita.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa.com

Referensi:

"Krisis Keuangan, Universitas Surya Terjerat Utang Rp 16 Miliar," tempo.co, diakses pada tanggal 26 Juli 2017.

 "Nggak Punya Uang, Amankah Kuliah dengan Uang Pinjaman?", bintang.com, diakses pada tanggal 26 Juli 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun