Tak hanya sebuah organisasi atau lembaga tertentu, persoalan utang-piutang seperti itu tentu dapat terjadi pada siapapun. Pernah dengar kabar seseorang yang rela menggadaikan rumahnya untuk membayar utang? Saya pernah. Namun demikian, bukan itu yang akan saya bahas berikutnya.
Saya justru lebih tertarik membahas soal "penyebab" seseorang menjual rumahnya hanya untuk melunasi utang. Kalau dicermati dengan saksama, boleh jadi, penyebab semua persoalan itu ialah huruf "t" pada kata "utang".
Akibat adanya huruf "t" tersebut, muncul permasalahan yang pelik. Makanya, andaikan huruf itu boleh dibuang, kata yang terbaca tentu jauh lebih enak dilihat: uang.
Namun, ternyata huruf "t" ogah lepas dari kata tersebut. Huruf itu seolah memberi "rambu-rambu" bahwa siapapun yang hendak berutang wajib mewaspadainya.
Maka, kira-kira apa makna huruf "t" yang terhimpit di tengah barisan kata "utang"?
Ternyata itulah makna tersembunyi dari huruf "t" tersebut. Akibat kita sering menunda membayar utang, bukankah masalah yang tadinya kecil berubah menjadi besar sehingga kita sulit menyelesaikannya?
Makanya, pada saat mengambil utang, saya merasa was-was. Karena sudah belajar dari pengalaman orang lain, begitu sudah punya dana lagi, buru-buru saya melunasinya. Jangan sampai pelunasan utang ditunda terlalu lama sehingga saya kewalahan sendiri membayarnya.
Sikap itu terbentuk setelah saya mendengar sekian banyak "cerita horor" dari seseorang yang terjerat utang. Misalnya saja kasus salah satu langganan toko saya yang terlilit utang hingga setengah miliar lebih.
Kisahnya begini. Sebagai seorang pedagang, ia sering menyetok barang dari toko saya. Kegiatan itu terus berlangsung sekian tahun hingga suatu hari ia memutuskan berhenti berdagang.
Usut punya usut ternyata ia punya utang yang sangat besar. Lebih dari setengah miliyar rupiah. Saya tak mengetahui ke mana saja uang itu mengalir, tapi bisa ditebak kalau pasti telah terjadi "kebocoran" anggaran.