Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Dilema" Memilih Membeli Rumah atau Apartemen

15 Juli 2017   07:31 Diperbarui: 16 Juli 2017   12:59 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: www.telegraph.co.uk

Andaikan saya punya sepasang "antena" di kepala layaknya seekor lebah, pastilah antena itu akan aktif bergerak ke sana-ke sini, terutama sewaktu "menangkap" informasi tentang tanah dan rumah. Bagi saya pribadi, informasi tersebut sama pentingnya dengan kabar laju perekonomian dan situasi politik dalam negeri. Makanya, jika mendengar sedikit saja berita tentang keberadaan tanah dan rumah yang dijual dengan murah, saya menjadi sedemikian "sensitif" dan "antusias".

Semua "keanehan" itu terjadi karena sampai saat ini, saya masih hidup bersama keluarga saya. Walaupun keluarga saya masih baik-baik saja, terkadang saya berpikir tak bisa tinggal selamanya dengan mereka. Suatu saat, saya akan "pergi" meninggalkan rumah. Apalagi, kalau saya sudah punya keluarga sendiri, kehadiran sebuah hunian yang nyaman jelas menjadi prioritas.

Makanya, sejak beberapa tahun belakangan, saya berencana membeli tanah, dan syukur-syukur bisa membangun rumah pribadi. Dengan demikian, saya bisa hidup jauh lebih mandiri.

Namun demikian, ternyata mencari tanah dan rumah yang "potensial" itu susahnya bukan main. Pernah saya dan teman saya blusukan mengunjungi sebuah perumahan di kawasan Cibitung. Namun, ternyata kami sudah sangat terlambat karena mayoritas tanah dan rumah di situ ludes diborong orang lain.

Padahal, kami melihat potensi yang bagus di situ lantaran terletak di sekitar Stasiun Cibitung yang akan beroperasi tahun ini. Andaikan ngotot membeli tanah di situ, kami tentu harus bersedia mengeluarkan dana berkali-kali lipat karena harga tanah juga telah naik. Sungguh sayang memang!

Akhirnya, niat untuk membeli tanah dan rumah ditunda dalam "tempo yang sesingkat-singkatnya". Entah kapan. Mungkin tahun ini. Mungkin juga tahun depan. Namun, yang jelas, keinginan untuk mempunyai rumah pribadi tetap "membara" di hati kami. Cieilee.

Bagaimana kalau beli apartemen saja? Sampai sekarang, belum ada niat saya untuk tinggal di apartemen. Saya merasa kurang sreg tinggal di situ. Saya tak bisa membayangkan bahwa sewaktu membuka pintu untuk pergi keluar, saya akan "menyapa" pintu tetangga, dan saya mesti mengalaminya setiap hari. Waduhhh! Betapa monotonnya pemandangan kalau begitu!

Saya justru lebih senang begitu buka pintu, langsung melihat halaman yang luas dengan beraneka tanaman hias di sekitarnya. Bunga krisan, anyelir, dan mawar terlihat indah "mewarnai" pekarangan. Rasanya, sewaktu melihat pemandangan hijau seperti itu, hati menjadi lebih "adem" dan "damai".

Namun demikian, itu sekadar pilihan yang didasari oleh kecocokan. Setiap orang tentu punya "selera" yang berbeda soal pilihan tempat tinggal, dan tentunya kita wajib menghormati pilihan yang sudah diambil orang lain.

Jangan sampai kita berdebat dengan orang lain hanya karena kita menyukai satu pilihan dan membenci pilihan lainnya, seperti kasus yang dialami kawan saya. Kawan saya sempat berselisih pendapat dengan abangnya gara-gara abangnya berencana membeli sebuah apartemen di Jakarta.

Abangnya memang baru saja mulai bekerja sebagai akuntan di Jakarta, dan rencananya dia akan menyisihkan sedikit demi sedikit gajinya untuk membayar DP apartemen. Dengan demikian, keinginan yang sudah dimilikinya sejak lama dapat terwujud.

Namun demikian, kawan saya justru menasihatinya kalau apartemen itu bukanlah hunian yang cocok ditinggali seumur hidup. Apartemen lebih pas menjadi tempat tinggal bagi mereka yang masih bujangan.

Lagipula, begitu masa kepemilikannya habis, dia harus memperpanjang lagi, atau membeli apartemen baru yang jelas akan lebih mahal harganya. Apalagi, pada saat itu, dia tentu sudah berumur. Ditakutkan kalau kemampuan finansialnya akan jauh merosot daripada dia muda dulu, sehingga sulit membeli hunian baru.

Makanya, menurutnya, alih-alih "mubazir" membeli apartemen, lebih baik langsung saja beli tanah dan rumah, yang jelas lebih "awet" masa kepemilikannya.

Saya tak tahu kelanjutan perdebatan tersebut. Namun demikian, setiap orang punya "kacamata" yang berbeda dalam memandang suatu hal, termasuk dalam hal memilih hunian. Jadi, kalau dihadapkan pada situasi begitu, antara rumah dan apartemen, kira-kira mana yang akan Anda pilih?

Salam.

Adica Wirawan, founder Gerairasa.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun