Alasan Cowok Berbohong
Lantas, mengapa cowok sampai berbohong kepada ceweknya? Memang agak sulit menjawab pertanyaan itu. Namun, agar dapat menjawabnya dengan lebih tepat, kita tentu melihat persoalan itu lewat sudut pandang si cowok. Dari situ baru terkuaklah motif yang mendasari si cowok membohongi ceweknya.
Setidaknya ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan. Pertama, cowok berbohong karena ia punya salah. Hal itu tentunya mudah dipahami dan bisa diselidiki berdasarkan pengalaman. Misalnya begini. Sewaktu masih kecil, saya ingat pernah berbohong kepada orangtua saya kalau saya tak menjajankan uang saku untuk membeli komik.
Sebelumnya, orangtua saya memang sudah memberi saya suatu "peringatan keras" agar jangan membeli komik. Alasannya "klasik". Menurut mereka, membaca komik itu membikin saya malas belajar. Makanya, jika sampai ketahuan membeli komik, orangtua saya akan marah besar.
Namun, pada saat itu, komik sedang populer di kelas. Hampir semua teman saya membacanya. Hal itu ternyata "mematik" keinginan saya, hingga akhirnya diam-diam saya membelanjakan uang saku yang diberikan untuk membeli komik.
Agar jangan sampai diketahui orangtua saya, saya menyimpan buku komik itu di bawah kasur. Namun, apesnya, beberapa hari kemudian, orang tua saya berhasil menemukannya sewaktu akan beres-beres kamar.
Apa yang kemudian terjadi? Sudah bisa ditebak. Saya mendapat "panggilan darurat". Sewaktu diinterogasi oleh orangtua saya, saya diam "seribu bahasa". Saya terlalu takut mengakuinya. Harga komiknya memang tak seberapa, tapi angkara murka yang akan saya terima membikin semua "bulu kuduk" saya berdiri!
Hal demikian tentu pernah juga dialami setiap orang, termasuk para cowok yang "terpaksa" dan "terlanjur" berbohong kepada pacarnya lantaran telah membikin kesalahan dan takut terkena omelan. Daripada ribut-ribut dengan ceweknya, si cowok kemudian menggunakan kemampuan saktinya dalam mengarang sebuah cerita agar ceweknya percaya.
Kedua, si cowok berbohong karena punya cewek yang posesif. Lantaran terus mendapat chat dan telepon yang menanyakan kabarnya, si cowok kemudian mencap kalau ceweknya itu terlalu "rewel". Hal itu tentu bisa dimaklumi.
Siapa yang bakal betah kalau begitu membuka medsos, di chatroom-nya "dibanjiri" pelbagai pesan dari si doi? Siapa pula yang bisa hidup tenang kalau terus "dihantui" oleh dering telepon dari kekasihnya yang terus-terusan menghubunginya? Semua itu tentu bisa bikin "gerah".
Pernah diteror oleh staf marketing bank yang gencar menawarkan kartu kredit? Saya pernah, dan jujur saja itu sangat mengganggu. Makanya, dalam hati saya berkata, "Jangankan pacar, gue aja bakal risih 'disatronin' staf bank kayak begitu."