“Gue mau sih jualan online, tapi….” Kalimat yang diucapkan oleh teman saya itu menyisakan sebuah “ruang” untuk didengar. Dengan sabar saya menunggu lanjutannya sambil menyeruput secangkir teh panas dan mengunyah beberapa potong biskuit.
Tumben-tumbennya dia membicarakan soal bisnis bareng saya. Namun, saya menduga topik tersebut muncul akibat obrolan kami tempo lalu. Pada pertemuan sebelumnya, saya menceritakan kepadanya kegiatan bisnis online yang sudah saya geluti sejak beberapa bulan.
Saya menuturkan bahwa awalnya saya merasa pesimis terhadap bisnis tersebut, tetapi seiring berjalannya waktu, bisnis yang tadinya sepi-sepi saja kini mulai menunjukkan peningkatan penjualan.
Saya memang agak bersemangat menyampaikannya. Namun, saya enggak pernah menyangka kalau cerita singkat itu “melekat” kuat di tempurung kepalanya. Saya tampaknya sudah sukses “meracuni”-nya dengan pengalaman itu sehingga kini dia pun tertarik ikut-ikutan terjun di bisnis online.
“Cuma, gue bingung mau bisnis apa?” Lanjutnya lagi.
Nah, kini jelaslah sudah kalau “batu sandungan” yang menghambatnya memulai bisnis adalah kebingungan dalam menentukan jenis produk yang akan dijualnya.
Dia masih belum mendapat “pencerahan” seputar barang mana yang cocok, pas, dan tepat untuk dipajang di toko online-nya.
Apa yang dialaminya barangkali juga dirasakan siapapun yang ingin berjualan secara online. Ibarat pelari maraton, mereka belum menemukan garis start-nya.
Makanya, biarpun keinginan berbisnis sudah menggebu-gebu, tetap saja mereka belum jua take action. Mereka masih sibuk mencari garis tempat mereka mulai, dan sayangnya pencarian itu terkadang menguras banyak waktu dan kesabaran.
Untuk mengatasi persoalan itu, kemudian saya mengajukan pertanyaan kepadanya.
“Memangnya lu suka belanja apa?” kata saya.
Dia menjawab senang belanja kosmetik. Lebih lanjut, dia mengetahui mana kosmetik yang berkualitas wahid dan mana yang kawe.
Dia lalu menjelaskannya secara panjang lebar soal pilihan warna untuk bentuk wajah tertentu, perawatan wajah yang baik, hingga tips-tips untuk mengatasi masalah pada muka.
Wawasannya sungguh membikin saya kagum.
Maka, saya pun berkata, “Nah, kenapa lu gak jualan kosmetik aja?”
Sesaat dia diam tertegun, tampak ragu-ragu.
“Kosmetik kan mahal,” katanya. “Nanti kalau gak laku gimana?”
Dengan enteng kemudian saya jawab, “Tenang, pasti laku. Buktinya, lu aja masih beli kosmetik, kan?”
Ide yang saya lemparkan kepadanya mungkin terdengar agak “nyeleneh”. Namun, saya enggak asal bicara sewaktu menyampaikan gagasan tersebut.
Bagi saya, itulah “kredo” yang saya anut dalam menjalankan bisnis: “Juallah sesuatu yang senang kita beli.” Mengapa? Karena kita mengenal betul seluk-beluk barang tersebut.
Kita senang membeli dan memakainya. Dari itulah kita bisa berbagi pengalaman kepada orang lain sewaktu kita menjajal produk tersebut, serta mampu menceritakan secara rinci kualitas barang tersebut, lengkap dengan semua kelebihan dan kekurangannya.
Dengan begitu, kita seolah menjadi seorang “duta produk” yang baik dan calon konsumen kita pun akan senang karena kita mengetahui lebih detil produk yang kita jual.
Enggak hanya itu, kita juga bisa berbagi rasa antusias terhadap kualitas produk tersebut. Percayalah kalau antusias itu bisa “menular” dan orang akan jauh lebih tertarik membeli kalau kita menceritakan produk itu dengan penuh antusias.
Itulah yang saya lakukan sewaktu dulu memulai bisnis. Saya adalah orang yang senang membaca. Apapun senang saya baca, seperti buku, artikel, dan jurnal.
Bagi saya, membaca itu enggak cuma bermanfaat mengisi waktu luang, tapi juga “memperkaya” pikiran dan jiwa.
Karena hobi membaca, saya mengoleksi banyak buku. Saya menyimpannya di rak, dan rak itu pun kini hampir jebol, lagi-lagi karena terlalu “disesaki” oleh buku.
Lewat pengalaman itulah akhirnya saya memutuskan menjual buku. Sebetulnya saya enggak punya niat mendulang “untung” dari bisnis itu.
Saya hanya ingin berbagi sedikit kesenangan lewat buku-buku yang saya jual kepada siapapun yang senang membaca seperti saya. Makanya, sewaktu menjalaninya, enggak ada beban apapun.
Untung-rugi biarlah urusan nanti. Yang penting saya bisa membagikan kebahagiaan tersebut kepada orang lain.
Dua minggu sejak saya mulai buka toko online, syukur banget, enggak ada yang beli!
Hahahahahahahaha.
Hanya ada pengunjung yang melihat-lihat. Lalu? Berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan pesan apapun!
Dengan tabah saya menunggu pembeli pertama saya, dan hari itu akhirnya tiba juga pada minggu ketiga. Seseorang dari Jakarta memesan buku yang saya pajang. Enggak ada tanya macem-macem, enggak ada nego, dia langsung setuju.
Saya segera melayaninya. Saya membungkus buku pesanan dengan rapi, mengirimnya lewat kurir, dan selang beberapa hari kemudian menerima rupiah hasil penjualan.
Rasanya? Senangnya bukan main!
Sejak saat itu, satu per satu buku yang saya pajang laku dijual.
Sampai sekarang saya enggak tahu berapa keuntungan dan kerugian yang saya dapat. Saya menjalaninya happy-happy saja.
Orang bilang saya “gila” lantaran berbisnis enggak pakai hitung-hitungan. Namun, bagi saya, apa yang saya lakukan bukanlah transaksi bisnis, melainkan sekadar berbagi kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan kepada orang lain.
Jadi, kalau masih bingung mau jualan apa, amati diri Anda terlebih dahulu. Tanyakan apa yang paling senang Anda beli.
Juallah barang itu.
Percayalah seseorang di luar sana akan tertarik membelinya dari Anda karena dia mengetahui kalau Anda menjualnya dengan sukacita, sebagaimana Anda juga bersukacita menggunakannya!
Salam.
Adica Wirawan, gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H