Kirito yang di jagad virtual reality dikenal sebagai pendekar “Black Swordman” yang legendaris karena mampu menumbangkan banyak monster kuat di game SAO ternyata “payah” di dunia augmented reality.
Semua itu terjadi lantaran ia tak mempunyai fisik yang cukup lentur, lincah, dan tangkas sewaktu “terjun” di game augmented reality. Makanya, pada awal film, rangkingnya di game augmented reality berada di kisaran ribuan, jauh dari Eiji, musuhnya, yang menempati ranking 2.
Jika pemain lainnya sibuk berjuang mengalahkan para monster di setiap level, ia lebih memilih menjadi penonton saja. Semua itu terjadi karena ia takut tewas dalam pertempuran.
Jika ia tewas di game, secara otomatis, ia pun akan tewas di dunia nyata, karena di dalam game itu sudah diatur agar otak pemainnya dirusak begitu avatarnya di dalam game mati.
Namun demikian, dalam game maut itu, Eiji bertemu, berkenalan, dan bersahabat dengan Yuna. Yuna, yang hobi bernyanyi, menjalani hari-harinya di dunia game dengan lebih riang.
Eiji mempunyai banyak kenangan manis bersama Yuna, walaupun akhirnya Yuna harus tewas akibat efek game tersebut. Dari fakta itu, kita kemudian akan menemukan benang merah yang menyebabkan terjadinya sejumlah peristiwa tragis dalam game.
Film SAO tampaknya menjadi “jembatan” yang menghubungkan masa lalu dan masa depan. Sewaktu menyaksikannya, penyuka serial animenya bakal diajak bernostalgia.
Mereka akan “dipertemukan” kembali dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Klein, Sinon, Silica, Lisbeth, dan Kirigaya Suguha. Barangkali itu bakal menyegarkan kembali ingatan seputar tokoh dan jalinan cerita sebelumnya.
Bahkan, di film itu, muncul juga monster dari lantai 100, yang belum sempat dilawan sebelumnya. Kirito dkk akhirnya bisa menghadapi laga pamungkas melawan monster dengan kekuatan super itu.