Tentu saja jenuh! Hal itu terjadi lantaran kita merasa “terpenjara” oleh sekat, sehingga tak bebas berinteraksi dengan “tetangga sebelah” alias rekan kerja. Apalagi kalau kita punya bos yang doyan “memata-matai” karyawannya, bisa jadi tingkat kebosanan yang kita rasakan bertambah dua kali lipat!
Maka, jangan heran kalau kemudian sejumlah karyawan, terutama anak muda, memilih “ngantor” di tempat-tempat umum, seperti mal, café, atau restoran. Di situ tampaknya mereka menemukan “kedamaian” dalam bekerja, bebas dari “ruang penjara” yang penuh sekat.
Namun, sayangnya, tak semua karyawan mempunyai kebebasan demikian lantaran perusahaan tempatnya bekerja tak memberi izin. Lagipula, jika berkantor di situ, karyawan bakal terganggu oleh pengunjung yang berseliweran, atau malah malas bekerja karena “terbawa suasana” yang sedemikian santai.
Persoalan itulah yang kemudian diamati oleh pengusaha Coworking Space. Makanya, mereka “getol” membuka sejumlah ruang kerja bersama untuk memenuhi “kerinduan” pekerja terhadap suasana kantor yang nyaman dan kondusif, dan ternyata, bisnis itu laris manis.
Jika trennya terus positif, bisa jadi semakin banyak karyawan yang memutuskan “ngantor” di situ, dan itu tentunya akan menimbulkan persoalan bagi perusahaan yang desain kantornya masih bergaya kubikel. Lantas apa solusinya? Perusahaan tentu saja harus mendesain model kantor yang sesuai dengan gaya karyawannya.
Sebut saja gaya kantor Telkomsel dan Unilever Indonesia. Manajemen perusahaan tampaknya menyadari bahwa karyawan saat ini tak bisa lagi ditempatkan di kantor gaya kubikel karena model demikian sudah “usang” dan tak bisa memenuhi kebutuhan karyawannya.
Salam.
Adica Wirawan, founder gerairasa.com
Referensi:
“Potential SoftBank-WeWork deal highlights flexible office trend”, reuters.com, diakses pada tanggal 2 Maret 2017.
“Kantor Akuarium Generasi Langgas”, Kompas, diakses pada tanggal 12 Februari 2017.