Tuduhan Google bahwa Uber telah memakai teknologi yang menjiplak kekayaan intelektualnya menjadi perbincangan hangat di kalangan pemerhati teknologi. Tuduhan itu berawal sewaktu pihak Google menemukan adanya kesamaan model teknologi swakemudi yang terdapat pada fitur Uber dengan teknologi pada Waymo, mobil otonom yang sempat dikembangkan Google beberapa tahun silam.
Tuduhan itu tentunya tak hanya sekadar asumsi, tetapi juga didukung sejumlah bukti berupa desain dan dokumen lainnya. Semua itu membikin tuduhan itu bertambah kuat. Apalagi, kemudian Google mengetahui bahwa mantan pegawainya, Anthony Levandowski, menjadi salah satu petinggi Uber, setelah perusahaan taksi online itu mengakusisi Otto, startup yang didirikan Levandowski setelah hengkang dari Google pada tahun 2011.
Google menuduh bahwa selama bekerja di Google, Levandowski telah mengunduh lebih dari 14.000 desain teknologi Waymo, termasuk teknologi LiDAR (laser radar) yang berperan vital untuk proses kemudi mobil otonom. Data itu kemudian dimanfaatkan Levandowski sewaktu mendirikan Otto bersama kawan-kawannya.
Oleh sebab itu, Otto kemudian mengembangkan teknologi mobil otonomnya sendiri. Teknologi itu ternyata menarik minat Travis Kalanick, CEO Uber, sehingga ia kemudian mengakusisinya senilai 680 juta dollar pada tahun 2016. Dari situlah kemudian muncul dugaan bahwa Uber telah menggunakan teknologi swakemudi yang modelnya hasil jiplakan Waymo.
Atas tuduhan itu, pihak Uber kemudian menyampaikan pembelaannya pada tanggal 24 Februari 2017. "Kami sangat bangga dengan kemajuan yang telah tim kami buat. Kami telah meninjau klaim Waymo dan memutuskan bahwa (klaim) mereka bertujuan memperlambat pesaing. Kami berharap dengan penuh semangat melawan mereka di pengadilan. Sementara itu kami akan terus bekerja keras untuk membawa manfaat (teknologi) swakemudi ke dunia."
Sengketa antara Google dan Uber di atas sebetulnya bukanlah yang pertama kali terjadi. Jika merunut beberapa tahun belakangan, kita akan menemukan sejumlah kasus serupa. Sebut saja kasus sengketa paten yang melibatkan Apple dan Samsung.
Pada tahun 2014, Apple mengajukan tuntutan hukum kepada Samsung di pengadilan Amerika Serikat. Apple menuduh bahwa Samsung telah menjiplak tiga teknologi yang sudah dipatenkannya.
Ketiga paten itu adalah teknologi “slide-to-unlock”, “autocorrect”, dan “quick link” yang berfungsi memunculkan rincian informasi kontak di nomor telepon yang ditampilkan dalam teks.
Namun demikian, Court of Appeals for the Federal Circuit di Washington, Amerika Serikat, kemudian memenangkan Samsung atas kasus sengketa itu. Pengadilan menyebut bahwa Samsung Electronics Co.Ltd tidak menyalahi aturan terkait paten Apple Quick Links. Pengadilan juga menyebut tuntutan terhadap dua paten lain terkait metode geser kunci layar dan fitur Auto-Correct tidak sah.
Belum lagi, tuduhan Tyler Winklover terhadap Mark Zuckerberg sewaktu ia meluncurkan Facemash, nama lawas Facebook. Winklover menuduh bahwa Zuckerberg telah menjiplak idenya dengan meniru situs Harvardconnection, yang dibuatnya bersama saudara kembarnya, Cameron Winklover, dan temannya, Divya Narendra.
Zuckerberg kemudian menjalani persidangan atas tuduhan tersebut, dan akhirnya bersedia membayarkan denda ke Tyler sebagai “upaya damai” dari persoalan itu. Sejak saat itu, Winklover sepakat tak akan mengungkit lagi persoalan itu ke publik, sampai akhirnya rahasia kecil itu kemudian didokumentasikan dalam film The Social Network, yang dibintangi oleh aktor Andrew Garfield.
Dari beberapa kasus penjiplakan di ranah teknologi seperti telah disebutkan di atas, saya teringat oleh sebuah kata-kata unik Pablo Picasso. Pada suatu kesempatan, pelukis yang mempopulerkan gaya kubikel itu pernah berujar, “Seniman yang baik itu meniru, sedangkan seniman yang hebat itu mencuri.”
Sekilas pandangan itu terdengar kontroversial. Apakah Picasso melegalkan penjiplakan? Apakah ia adalah salah satu seniman yang membolehkan, membiarkan, atau bahkan menyerukan perbuatan plagiat atas karya orang lain?
Hanya Piccaso sendirilah yang bisa menjawabnya, tetapi sayangnya, sampai akhir hidupnya, piccaso tak pernah menjelaskan maksud ucapannya yang kemudian menjadi viral itu.
Namun demikian, menurut hemat saya, Piccaso tampaknya telah menyadari bahwa tak ada yang baru didunia ini, sehingga sebetulnya tak ada karya yang perlu dipatenkan. Sebab, karya-karya yang telah ada saat ini hanyalah “inovasi” dari teknologi sebelumnya.
Kalau memang betul bahwa tak ada yang baru di dunia ini, lantas buat apa Google repot-repot menggugat Uber di pengadilan tentang kasus penjiplakan teknologi? Apa untungnya bagi kedua pihak jika kasus tersebut sampai berada di atas meja hijau? Bukankah hal itu justru akan “merugikan” keduanya karena reputasi, energi, dan uang keduanya akan banyak dipertaruhkan di situ?
Biarpun demikian, baik Google maupun Uber kukuh membawa kasus itu ke pengadilan. Lantas, siapakah yang akan keluar sebagai pemenang? Kita tunggu saja kelanjutannya.
Salam.
Adica Wirawan, founder gerairasa.com
Referensi:
- “Clash Of The Autonomous Titans: Alphabet's Waymo Sues Uber Claiming Tech Theft,” forbes.com, diakses pada tanggal 25 Februari 2017.
- “Uber may have bought self-driving car technology that was stolen from Google,” qz.com, diakses pada tanggal 25 Februari 2017.
- “Samsung Menang Sengketa Hak Paten dengan Apple,” metrotvnews.com, diakses pada tanggal 25 Februari 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H