Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ada Apa dengan "O"-nya Kompasiana?

24 Februari 2017   10:08 Diperbarui: 24 Februari 2017   10:30 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
beginilah tampilan wajah link kompasiana di medsos/ dokumentasi pribadi

Sewaktu saya menghadiri acara peluncuran logo baru Kompasiana pada tanggal 23 Februari kemarin, mata saya terus saja “tertumbuk” pada huruf “o”-nya Kompasiana. Pada logo baru, huruf “o”-nya memang tampak beda sendiri.

Kalau sebelumnya huruf “o” itu berbentuk seperti balon percakapan berwarna putih, kini huruf “o” tersebut berbentuk segi delapan yang didesain seperti lipatan pita dan dipoles warna biru.

Sementara itu, di lubang huruf “o”, terdapat “kotak percakapan”. Jujur sewaktu melihat logo itu pertama kali, saya tidak menyadari adanya “kotak percakapan” di situ. Yang saya lihat justru lubang biasa, sebagaimana huruf “o” pada umumnya.

perubahan desain logo dari waktu ke waktu/ dokumentasi pribadi
perubahan desain logo dari waktu ke waktu/ dokumentasi pribadi
Hal itu terjadi mungkin saja karena saya melihatnya dari kejauhan, sehingga melewatkan detailnya. Namun, ketika Pak Iskandar Zulkarnaen menunjukkan letaknya, saya baru “ngeh”. Dalam hati, saya pun bergumam, “O, ya, saya lihat sekarang!”

Perubahan desain huruf “o” itu sebetulnya dilakukan karena Pak Iskandar melihat bahwa huruf “o” yang terdapat pada logo lama mirip dengan bentuk ikon media sosial, seperti whatsapp atau line. Selain itu, bentuk itu juga sudah sangat jamak dipakai. Oleh karena itulah, huruf “o”-nya dibikin seunik mungkin sebagai ciri khas Kompasiana.

Namun, “o” yang itu masih kalah dengan bunyi “o” lainnya sewaktu saya menyimak hasil survei tentang pandangan masyarakat terhadap Kompasiana. Beberapa waktu lalu, tim Kompasiana memang sempat mengadakan survei untuk mengetahui “persepsi publik” tentang Kompasiana, dan hasilnya cukup bikin geger.

“Hanya 2% yang tahu bahwa Kompasiana itu media blog,” kata Pak Iskandar. Maka, kini terkuaklah kalau masyarakat mayoritas menganggap bahwa Kompasiana adalah sebuah portal berita, seperti kompas.com, saudara tuanya, atau portal berita lainnya.

Mengapa bisa terjadi demikian? Barangkali curhatan Kompasianer Andri Mastiyanto dapat memberi sedikit “titik cerah”. Pada saat itu, ia menyampaikan argumen bahwa semua itu terjadi karena “wajah link” Kompasiana yang ditunjukkan sewaktu kita men-share-nya di media sosial, seperti facebook atau twitter, mirip dengan portal berita lainnya.

Anda yang sering share artikel di Kompasiana pasti memahaminya. Sewaktu Anda men-share tulisan di Kompasiana, di time line media sosial Anda, “wajah” apa yang tampak? Tentu wajah Kompasiana.

beginilah tampilan wajah link kompasiana di medsos/ dokumentasi pribadi
beginilah tampilan wajah link kompasiana di medsos/ dokumentasi pribadi
Makanya, jangan heran kalau kemudian masyarakat menganggap Kompasiana sebagai portal berita, seperti media mainstream lainnya yang kalau di-share akan menampilkan “wajah” serupa.

Apalagi, pada namanya, terdapat embel-embel Kompas, yang selama ini citranya sudah melekat kuat di benak masyarakat sebagai media yang menyajikan berita aktual dan terpecaya. Makanya, masyarakat umumnya kerap menyamakan Kompasiana dengan Kompas.

Kemudian, Kompasianer Andri juga menyampaikan usul supaya urutan domain Kompasiana diubah karena urutan nama domain yang ada sekarang dianggap menjadi “biang keladi” lain kesalahkaprahan tersebut.

Konsep itu tampaknya terinspirasi dari layanan blogger dan wordpress, yang domainnya diawali oleh nama pemakainya, sehingga jelaslah kalau itu adalah blog personal, dan bukannya portal berita. Andaikan Kompasiana memakai sistem itu, identitas Kompasiana sebagai etalase blog warga tentu akan tampak jelas.

Namun demikian, pengelola Kompasiana rupanya punya pandangan berbeda, sebab Kompasiana sudah “terlanjur” menerapkan sistem urutan domain yang umumnya dipakai oleh media sosial, seperti twitter, sehingga jika hal itu dilakukan, semua bentuknya harus dirombak secara total.

Agar mispersepsi itu tak berkepanjangan seperti film India, Kompasiana kemudian memutuskan mengganti slogan dari yang tadinya “Sharing. Connecting.” menjadi “Beyond Blogging.” Slogan baru itu diharapkan akan mempertegas identitas Kompasiana, sehingga masyarakat yang sebelumnya beranggap Kompasiana adalah portal berita barangkali akan bergumam, “O, ternyata, selama ini, Kompasiana itu media blog toh!”

Kemudian, “o” lainnya yang juga terdengar unik adalah “o” yang disertai oleh desahan penuh “kesal, sebal, dan marah”, terutama ketika Kompasianer sering gagal login, fotonya raib, dan artikelnya lenyap. Maka, jangan heran kalau kita sering mendengar cibiran: “Kompasiana eror lagi? O, udah biasa.”

Cibiran seperti itu tentunya kurang sedap didengar. Namun, demikianlah yang terjadi di “lapangan”. Pengelola Kompasiana sadar betul hal itu, apalagi setelah mendengar pelbagai keluhan Kompasianer, seperti yang disampaikan oleh Pak Yon Bayu, yang 20 artikelnya lenyap termoderasi sistem.

Kecewa? Jelas. Betapa tidak, kalau satu tulisan hilang saja kita bisa merajuk, apalagi 20 tulisan! Supaya kasus serupa tak terulang ke depannya, pengelola bekerja keras terus memperbaiki sistem.

Kemudahan akses harus menjadi prioritas, sebab percuma saja punya tampilan baru, tetapi situsnya susah diakses penggunanya. Makanya, tim IT Kompasiana terus berbenah, biarpun harus menghadapi segudang kodingan yang ruwet, jelimet, dan semrawut.

Namun, “o” yang penuh nada getir itu akan tergantikan oleh “o” lain, yang nadanya lebih riang, lantaran pada peluncuran wajah baru Kompasiana bulan Juni nanti, akan ada fitur Content Affiliation. Fitur itu berfungsi sebagai “jembatan” yang menghubungkan Kompasianer dengan pihak sponsor.

inilah fitur baru kompasiana yang akan diluncurkan pada bulan juni nanti/ dokumentasi pribadi
inilah fitur baru kompasiana yang akan diluncurkan pada bulan juni nanti/ dokumentasi pribadi
Fitur itu menawarkan Kompasianer sebuah kesempatan untuk “mendulang” rupiah dengan menjadi copy writer sebuah produk. Namun, tak semua Kompasianer mendapat kesempatan demikian, karena hanya Kompasianer yang sudah terverifikasi “hijau” atau “biru”lah yang bisa mengaksesnya. Jadi, bagi Kompasianer yang akunnya belum terverifikasi, lakukan segera agar punya kesempatan tersebut.

berikut adalah alur penerapan affiliation content/ dokumentasi pribadi
berikut adalah alur penerapan affiliation content/ dokumentasi pribadi
Kehadiran fitur itu sekaligus “memberangus” stigma negatif yang sempat melekat pada Kompasiana. Barangkali saja ada yang beranggapan bahwa menulis di Kompasiana itu tak dapat apa-apa, seperti guyonan Pak Nurulloh kemarin: “Nulis gak dibayar, salah nulis dihapus.”

Maka, dengan fitur itu, Kompasiana mencoba berbagi profit dengan kompasianernya, sehingga kalau ada yang bertanya, “Nulis di Kompasiana dibayar ga?”, kita bisa menjawab, “Dibayar lho,” dan kemudian kita akan mendengar suara “ooooooooooooo” yang lebih panjang.

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan “o” yang lebih personal sifatnya. Jujur saja pertemuan kemarin adalah acara Kompasiana yang baru pertama kali saya ikuti.

Tahun lalu sebetulnya saya ingin menghadiri acara Kompasianival di Smesco, tetapi karena saya ada acara penting di Serpong, niat itu kemudian batal. Jadi, baru kemarin, saya punya kesempatan bertatap muka dengan Kompasianer lainnya.

Sebelumnya saya lebih mengenal Kompasianer lainnya hanya lewat tulisan dan foto profil di akunnya tanpa pernah melihat, mendengar, atau mengobrol secara langsung. Namun, kemarin, saya berkesempatan berkenalan dengan sejumlah Kompasianer, seperti Mas Agung Han dan Mas Reno Dwiheryana, serta pengelola Kompasiana, seperti Pak Iskandar Zulkarnaen dan Pak Nurulloh.

pak iskandar zulkarnaen, ibu veronika roro sekar wening, dan pak andy budiman meresmikan logo baru kompasiana/ dokumentasi pribadi
pak iskandar zulkarnaen, ibu veronika roro sekar wening, dan pak andy budiman meresmikan logo baru kompasiana/ dokumentasi pribadi
Bagi saya, perkenalan secara langsung seperti itu menarik sebab sewaktu berjumpa dengan Kompasianer lainnya, persepsi saya sontak berubah. “Kok beda ya dengan yang saya pikir selama ini,” kata saya dalam hati.

Apa yang ditampilkan di tulisan dan foto seseorang ternyata bisa berbeda dengan realitanya. Dari situ kemudian saya mendapat sebuah pesan moral: “Jangan menilai orang dari foto atau tulisannya saja.”

Hehehe.

Pertemuan itu menjadi ajang silaturahmi antar Kompasianer dan pengelola Kompasiana. Sebagian besar yang hadir sudah saling mengenal sebelumnya, sehingga mereka bisa cipika-cipiki dan bercanda sebebasnya tanpa lagi jaim alias jaga imej.

Menurut saya, mereka adalah nyawa Kompasiana yang sesungguhnya. Jika situs dan perangkat lainnya diibaratkan sebagai jasmani, para Kompasianer itulah yang menjadi “ruh” yang menghidupkan Kompasiana.

Tanpa interaksi dari para kompasianernya, Kompasiana yang kini sudah beranggotakan 330.000 lebih itu bukanlah apa-apa. Maka, sewaktu melihat, mendengar, dan merasakan “kekeluargaan” yang kental pada acara kemarin, diam-diam, di dalam hati, saya bergumam kagum, “O, itu toh Kompasianer itu!”

kompasianer yang menjadi nyawa kompasiana/ dokumentasi pribadi
kompasianer yang menjadi nyawa kompasiana/ dokumentasi pribadi
Salam.

Adica Wirawan, founder gerairasa.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun