Makanya, sewaktu Jobs berseteru dengan Scully, mereka beramai-ramai membela Scully. Lantaran kalah suara, Steve Jobs kemudian “digusur” dari kursi dewan direksi.
Sungguh ironis memang. Jobs yang menjadi “peletak batu pertama” Apple justru harus “cabut” dari perusahaan itu karena kalah dukungan. Namun, demikianlah “politik kantor” yang terjadi, dan hal itu tentunya bisa berlaku pula kepada perusahaan lainnya, termasuk Snap Inc., yang akan melakukan IPO.
Belum lagi tekanan yang muncul dari pemegang saham mayoritas. Sebagai orang yang punya presentase jumlah saham yang dominan, pemegang saham tersebut tentu punya wewenang besar dalam menentukan “haluan” perusahaan. Jadi, terkadang ia merasa punya “hak” untuk mencampuri urusan perusahaan.
Hal itu tentunya sah-sah saja dilakukan, bergantung kesepakatan yang telah dibikin sebelumnya. Namun, yang menjadi persoalan adalah kalau pemegang saham itu terlalu “aktif” ikut campur tangan dalam menentukan kebijakan.
Hal itu tentunya akan berdampak pada produktivitas perusahaan. Apalagi, kalau terjadi perselisihan antar “kubu” pemegang saham, bisa-bisa masalah akan semakin runyam dan kinerja perusahaan di semua lini bakal terganggu.
Itulah “bayang-bayang gelap” yang akan menghadang Snap Inc. nantinya. Jadi, jangan melulu kita beranggapan bahwa dengan melakukan IPO, perusahaan akan punya banyak duit, pemiliknya bakal kaya raya, dan bisnisnya bisa menjangkau seluruh dunia.
Namun, lihatlah “sejarah kelam” yang pernah dialami oleh perusahaan yang sudah lebih dulu masuk bursa saham. Dengan demikian, perusahaan bisa belajar dari pengalaman, supaya kejadian serupa dapat diantisipasi dengan baik.
Salam.
Adica Wirawan, founder gerairasa.com
Referensi:
“Snap lowers valuation expectations in highly awaited IPO,” reuters.com, diakses pada tanggal 18 Februari 2017.