Kalau bicara soal sosok yang “getol” melakukan inovasi dalam bidang teknologi informasi, orang-orang yang termasuk Generasi Y alias Generasi Milenial barangkali bisa masuk ke dalam hitungan.
Sebut saja beberapa “aktor” yang memprakarsai berdirinya startup-startup yang “tengah naik”, seperti Tokopedia, Gojek, dan Bukalapak. Para pendirinya rata-rata masih berusia 30-tahunan. Biarpun terbilang berusia muda, melalui perusahaan yang mereka bentuk, mereka telah menciptakan perubahan dalam kegiatan ekonomi masyarakat saat ini.
Buktinya, sekarang kalau mau beli apa-apa, kita cukup buka laptop atau klik smartphone. Semua macam barang, dari pakaian sampai makanan, tersedia di situs ecommerce tersebut. Sementara itu, apabila kita bingung pergi ke mana-mana, kini sudah tersedia aplikasi yang menawarkan jasa antar penumpang. Berkat karya mereka, hidup pada zaman sekarang terasa lebih enak, mudah, dan praktis.
Oleh sejumlah pakar, para pendiri startup tersebut dikategorikan sebagai Generasi Milenial karena mereka lahir pada tahun 1980-2000. Sebut saja William Tanuwijaya, pendiri tokopedia, yang lahir pada tahun 1981, kemudian Nadiem Makarim, pendiri gojek, pada 1984, dan Ahmad Zaky, pendiri bukalapak, pada tahun 1986. Mereka memang belum mencapai usia 40, tetapi apa yang mereka lakukan dengan mendirikan perusahaan tersebut telah berdampak besar bagi lingkungan.
Sebagaimana diketahui, Generasi Milenial memang berbeda dari generasi sebelumnya. Kalau generasi sebelumnya alias Generasi X lebih konservatif dalam menjalani hidup dan bisnis, Generasi Milenial cenderung lebih luwes. Bahkan, saking luwesnya, mereka menjalani hidup “suka-suka” mereka.
Buktinya, dalam hal bekerja, Generasi Milenial cenderung mudah berpindah-pindah pekerjaan. Pemilik perusahaan barangkali menyebut mereka sebagai “karyawan kutu loncat”. Sebutan itu memang agak berlebihan, tetapi kalau melihat sepak terjang mereka di perusahaan, kita mungkin akan maklum.
Enggak seperti Generasi X yang cenderung bertahan selama puluhan tahun di perusahaan yang sama, Generasi Milenial sering bekerja di sebuah perusahaan hanya dalam hitungan tahun saja. Biasanya setelah tiga tahun bekerja, mereka sudah enggak betah, dan “cabut” dari kantor untuk mencari tempat kerja baru.
Alasannya beragam: karena merasa kurang cocok dengan gaji, “ribut” sama atasan, atau, yang termuktahir, ingin bekerja sesuai passion. Makanya, mereka bersedia pindah kerja ke perusahaan baru, asalkan mereka menemukan pekerjaan yang sesuai dengan passion, walaupun perusahaan tersebut membayar mereka lebih rendah daripada sebelumnya. Terkesan idealis? Mungkin saja.
Belum lagi, soal efisiensi dalam melakukan segala sesuatu, Generasi Milenial memang terkesan “kurang sabar”. Apa-apa harus cepat. Apa-apa mesti langsung terwujud. Maka, jangan heran kalau generasi itu pun memiliki pola pikir serba instan. Semua itu timbul karena pengaruh perkembangan teknologi, terutama internet.
Generasi Milenial adalah generasi yang sangat internet oriented. Saking kuatnya pengaruh internet dalam hidup mereka, ada yang sempat menyebut mereka sebagai “generasi menunduk”. Betapa tidak, ketergantungan mereka terhadap internet memang tergolong tinggi. Enggak di tempat makan, enggak di dalam kereta, kita sering menjumpai mereka tengah asyik dengan perangkat masing-masing.
Asalkan tersambung oleh koneksi internet yang baik, lewat perangkat itu, mereka bisa mengakses konten apapun, seperti mengobrol, membaca berita, mendengar musik, dan menonton film. Begitu gampangnya memperoleh layanan itu sehingga pola pikir serba instan pun tertanam kuat di tempurung kepala mereka.
Pola pikir itulah yang membikin Generasi Milenial sulit membangun karier di suatu perusahaan. Kalau punya pola pikir demikian, umumnya mereka berambisi kuat menduduki kursi kepemimpinan dalam waktu yang relatif singkat. Bahasa sederhananya: “Sukses Semuda Mungkin”. Padahal, untuk meraih posisi itu, banyak perjuangan dan dedikasi yang harus mereka lakukan.
Itu enggak mudah dilakukan kalau kita menjalaninya dengan pola pikir serba instan, sebab kita akan cepat putus asa, lekas menyerah, dan gampang angkat tangan, manakala niat tersebut ternyata gagal terwujud. Jadi, kalau tetap berpegang pada pola pikir itu, satu-satunya jalan adalah "hijrah" ke tempat kerja baru, atau bikin perusahaan sendiri.
Namun demikian, Generasi Milenial tergolong sebagai generasi yang “gemar” belajar. Mereka tumbuh ketika teknologi informasi tengah berkembang. Jadi, sewaktu ingin mencari tahu suatu informasi, misalnya, mereka bisa bertanya langsung ke mbah Google. Jawaban yang logis sampai yang “edan” bisa ditemukan di situ.
Asalkan bersikap kritis, mereka bisa menemukan jawaban yang tepat, sebab di antara jutaan infomasi yang tersedia, mereka harus pandai-pandai memilah dan memilih informasi yang diserap. Jangan sampai mereka terpedaya oleh informasi hoax yang banyak bertebaran di internet.
Lalu, bagaimana “geliat” Generasi Milenial dalam membangun startup pada tahun 2017? Pada tahun depan, startup-startup baru tampaknya akan bermunculan. Generasi Milenial memandang bahwa tahun depan adalah waktu yang paling “asyik” mendirikan startup, sebab infrastruktur sudah semakin berkembang, koneksi internet sudah jauh lebih baik, dan kita sedang memasuki periode bonus demografi. Jadi, kalau membiarkannya lewat begitu saja, mereka akan menyia-nyiakan “kesempatan emas” yang tersedia di depan mata.
Sementara itu, startup yang sudah ada akan menyiapkan rencana untuk melantai di bursa saham. Kini Otoritas Jasa Keuangan tengah mematangkan regulasi untuk mendorong startup supaya tertarik meluncurkan IPO. Dengan demikian, startup tersebut diharapkan mampu memperoleh dana segar sehingga bisa berkembang dan bersaing dengan startup-startup global.
Dengan demikian, semoga saja “geliat” tersebut menjadi angin segar bagi pertumbuhan ekonomi negara kita pada tahun depan.
Salam.
Adica Wirawan, founder gerairasa.com
Referensi:
“Sebelum Melantai di Bursa, BEI Akan Berikan 'Pendidikan Khusus' ke Startup dan UKM”, tribunnews.com, diakses pada tanggal 26 Desember 2016.
“OJK Lagi Siapkan Inkubator Buat Startup Masuk Pasar Modal”, detik.com, diakses pada tanggal 26 Desember 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H