Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akankah Bahasa Indonesia Bernasib “Setragis” Bahasa Bo?

27 Oktober 2016   07:56 Diperbarui: 27 Oktober 2016   08:10 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua itu dapat terlihat dari sikap penuturnya, yang kini lebih banyak terpengaruh oleh budaya asing sehingga mulai mengesampingkan fungsi bahasa Indonesia. Sebagai contoh, bertahun-tahun yang lalu, budaya Korea menjadi booming di Indonesia. Budaya Korea tak hanya merembes masuk lewat tayangan film-filmnya, tetapi juga lewat musik dan seni pertunjukan lain.

Banyak remaja Indonesia, terutama remaja putri, yang tergila-gila dengan budaya Korea itu. Tak hanya berdandan meniru aktris Korea yang diidolakan, mereka bahkan sampai belajar bahasa Korea. Mereka pun jadi jago “cuap-cuap” dalam bahasa Korea, dan kerap menyisipkan unsur-unsur bahasa Korea ke dalam percakapan sehari-hari. Semua itu terjadi lantaran mereka sudah “tersihir” oleh budaya Korea yang sangat populer itu.

Apakah salah bersikap demikian? Jika sebatas suka, saya pikir tidak jadi masalah. Itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Namanya juga ABG alias “Anak Baru Gede”. Namun kalau sudah kebablasan, hal itu tentunya akan menjadi sebuah tanda tanya besar.

Belum lagi, kasus sekolah-sekolah berlabel “internasional”, yang mewajibkan siswanya untuk berbahasa Inggris di kelas. Hal itu tentunya menimbulkan dilema. Padahal, dalam peraturan pemerintah, jelas-jelas tertulis kalau bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia.

Namun, lantaran mempunyai tujuan tertentu, sekolah itu kukuh memakai bahasa Inggris di kelas. Akibatnya, siswa-siswa yang tadinya lancar berbahasa Indonesia pun ikut terpengaruh oleh lingkungan sehingga kesetiaannya terhadap bahasa Indonesia pun mulai goyah.

Sementara itu, penggunaan bahasa asing yang “menghiasi” media luar ruang di sejumlah pusat-pusat niaga pun sempat menjadi polemik. Sebagai contoh, sewaktu akan melewati pintu kaca di gerbang mall tertentu, kita mungkin masih sering menjumpai kata “push” dan “pull”.

Belum lagi, di toilet, kerap ada tulisan “gent” dan “ladies”. Kita tentunya bertanya-tanya fasilitas umum itu sebetulnya untuk siapa? Untuk orang Indonesia ataukah orang asing? Kalau untuk orang Indonesia, mengapa itu tidak ditulis saja dalam bahasa Indonesia?

Itulah sekelumit persoalan yang tengah terjadi dalam usaha merawat bahasa Indonesia. Namun demikian, janganlah kita bersikap pesimis. Bagaimanapun, bahasa Indonesia masih terus berkembang. Bahkan, terdapat kabar gembira kalau bahasa Indonesia kian diminati oleh masyarakat mancanegara.

Buktinya, ada seorang warga Norwegia, Audun Kvitland Rostad, yang jatuh cinta pada budaya Indonesia sampai-sampai ia menciptakan sebuah lagu romantis berjudul “nasi padang”. Nah, kalau orang asing saja terpincut oleh budaya Indonesia, apakah kita sekarang sudah merasa bangga berbahasa Indonesia?

Salam.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun