Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akankah Bahasa Indonesia Bernasib “Setragis” Bahasa Bo?

27 Oktober 2016   07:56 Diperbarui: 27 Oktober 2016   08:10 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa Indonesia Adalah Bahasa Persatuan/ www.univbatam.ac.id

Dengan penuh kegeraman, Jenderal Lothar von Trotha, yang menduduki pucuk pimpinan pemerintah kolonial Jerman di Namibia, menyerukan pemusnahan seluruh suku Herero dan suku Nama pada tahun 1905. Tentara Jerman kemudian mengintai, mengepung, dan menyerbu perkampungan kedua suku itu. Ribuan orang yang berasal dari kedua suku itu pun ditangkap dan dijebloskan di kamp-kamp militer.

Selama di kamp-kamp itu, mayoritas tewas akibat kelaparan dan cuaca yang buruk. Tak hanya itu, tentara Jerman juga memenggal sejumlah kepala dan mengirim tengkoraknya ke Jerman untuk bahan penelitian ilmiah. Biarpun sudah seabad berlalu, peristiwa kelam itu telah menumpahkan “tinta hitam” pada buku sejarah dunia.

Apa yang dilakukan oleh tentara Jerman itu disebut sebagai genosida. Dalam hukum internasional, genosida termasuk kejahatan perang yang sangat keji. Betapa tidak! Sewaktu mengalami genosida, suatu kelompok tak hanya terusir dari tanah tumpah darahnya, tetapi juga terenggut hak hidupnya, seperti akses keamanan, pendidikan, dan pekerjaan. Bahkan, yang lebih parah lagi, bisa terjadi pembunuhan masal, seperti yang dialami suku Herero dan suku Nama.

Genosida sebetulnya tak hanya terjadi di kalangan umat manusia tertentu, tetapi juga di dalam bahasa. Hanya bedanya, yang “punah” akibat genosida itu wujudnya “tuturan” yang bisa dicerap lewat indera visual dan audial saja, bukannya orang.

Dalam sejumlah kasus, kepunahan bahasa lebih disebabkan oleh faktor alam. Sebagai contoh, bahasa Bo, yang dituturkan oleh masyarakat dari pulau-pulau Andaman, mengalami kepunahan lantaran jumlah penuturnya yang terus menyusut.

Selain bahasa Bo, ada banyak bahasa lainnya yang juga terancam punah, seperti bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Loun, Mapia, Moksela, Naka'ela, Nila, Palumata, Saponi, Serua, Ternateno dan Te'un.

Semua itu terjadi secara alami lantaran mayoritasnya penuturnya, yang berjumlah kurang dari 100, sudah sepuh, sementara generasi muda sudah meninggalkan bahasa tersebut dan beralih menuturkan bahasa lainnya. Oleh sebab itu, bahasa-bahasa itu sukar bertahan lebih lama.

Akankah bahasa Indonesia juga mengalami kepunahan, seperti bahasa Bo? Bisa saja. Namun, hal itu tampaknya baru akan terjadi berabad-abad lamanya lantaran bahasa Indonesia masih dituturkan lebih dari 100 juta orang. Dalam tingkat keadaan bahasa yang disusun oleh UNESCO, bahasa Indonesia pun masih termasuk “aman” dari kepunahan.

Namun demikian, tanda-tanda “tergerusnya” bahasa Indonesia kini sudah mulai terlihat. Ibarat sebuah jalan raya, bahasa Indonesia adalah sebuah sarana komunikasi yang menghubungkan antarbangsa di nusantara. Dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia, kita dapat berkomunikasi dengan mudah lewat bahasa Indonesia.

Buktinya tentu bisa kita lihat di Kompasiana. Kita mengetahui kalau para kompasianer itu berasal dari wilayah yang berbeda, suku yang berbeda, dan latar belakang yang juga berbeda. Namun, mengapa kita dapat saling bertegur sapa dengan lancar di Kompasiana? Ya, karena kita sudah dipersatukan oleh bahasa Indonesia. Jadi, sebetulnya bahasa Indonesia mempunyai andil besar dalam menjaga persatuan.

Namun demikian, suatu saat sebuah jalan pun dapat “retak”. Apalagi kalau sering dilintasi oleh truk-truk besar, bisa-bisa jalan itu bertambah rusak, atau bahkan malah “amblas”. Hal yang sama juga akan terjadi dengan bahasa Indonesia kalau penuturnya sendiri enggan merawatnya.

Semua itu dapat terlihat dari sikap penuturnya, yang kini lebih banyak terpengaruh oleh budaya asing sehingga mulai mengesampingkan fungsi bahasa Indonesia. Sebagai contoh, bertahun-tahun yang lalu, budaya Korea menjadi booming di Indonesia. Budaya Korea tak hanya merembes masuk lewat tayangan film-filmnya, tetapi juga lewat musik dan seni pertunjukan lain.

Banyak remaja Indonesia, terutama remaja putri, yang tergila-gila dengan budaya Korea itu. Tak hanya berdandan meniru aktris Korea yang diidolakan, mereka bahkan sampai belajar bahasa Korea. Mereka pun jadi jago “cuap-cuap” dalam bahasa Korea, dan kerap menyisipkan unsur-unsur bahasa Korea ke dalam percakapan sehari-hari. Semua itu terjadi lantaran mereka sudah “tersihir” oleh budaya Korea yang sangat populer itu.

Apakah salah bersikap demikian? Jika sebatas suka, saya pikir tidak jadi masalah. Itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Namanya juga ABG alias “Anak Baru Gede”. Namun kalau sudah kebablasan, hal itu tentunya akan menjadi sebuah tanda tanya besar.

Belum lagi, kasus sekolah-sekolah berlabel “internasional”, yang mewajibkan siswanya untuk berbahasa Inggris di kelas. Hal itu tentunya menimbulkan dilema. Padahal, dalam peraturan pemerintah, jelas-jelas tertulis kalau bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Indonesia.

Namun, lantaran mempunyai tujuan tertentu, sekolah itu kukuh memakai bahasa Inggris di kelas. Akibatnya, siswa-siswa yang tadinya lancar berbahasa Indonesia pun ikut terpengaruh oleh lingkungan sehingga kesetiaannya terhadap bahasa Indonesia pun mulai goyah.

Sementara itu, penggunaan bahasa asing yang “menghiasi” media luar ruang di sejumlah pusat-pusat niaga pun sempat menjadi polemik. Sebagai contoh, sewaktu akan melewati pintu kaca di gerbang mall tertentu, kita mungkin masih sering menjumpai kata “push” dan “pull”.

Belum lagi, di toilet, kerap ada tulisan “gent” dan “ladies”. Kita tentunya bertanya-tanya fasilitas umum itu sebetulnya untuk siapa? Untuk orang Indonesia ataukah orang asing? Kalau untuk orang Indonesia, mengapa itu tidak ditulis saja dalam bahasa Indonesia?

Itulah sekelumit persoalan yang tengah terjadi dalam usaha merawat bahasa Indonesia. Namun demikian, janganlah kita bersikap pesimis. Bagaimanapun, bahasa Indonesia masih terus berkembang. Bahkan, terdapat kabar gembira kalau bahasa Indonesia kian diminati oleh masyarakat mancanegara.

Buktinya, ada seorang warga Norwegia, Audun Kvitland Rostad, yang jatuh cinta pada budaya Indonesia sampai-sampai ia menciptakan sebuah lagu romantis berjudul “nasi padang”. Nah, kalau orang asing saja terpincut oleh budaya Indonesia, apakah kita sekarang sudah merasa bangga berbahasa Indonesia?

Salam.

Referensi:

“Jerman Akan Minta Maaf Terkait Genosida di Namibia Satu Abad Lalu”, www.kompas.com, diakses pada tanggal 25 Oktober 2016.

“The death of a language” , www.theguardian.com, diakses pada tanggal 26 Oktober 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun