Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Finlandia, Guru Harus Siap Terima Kritik dari Siswa

24 Oktober 2016   09:36 Diperbarui: 24 Oktober 2016   12:46 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Finlandia, Seorang Guru Bukan Lagi Menjadi Poros Ilmu, Melainkan Mitra Siswa dalam Belajar/ www.vox.com

Perkataan Juha Christensen, Senior Advisor Finland University, tentang budaya belajar di sekolah di Finlandia membikin saya sedikit tertegun.

Dalam sebuah sesi wawancara, ia menuturkan kalau siswa-siswi di Finlandia terbiasa bersikap kritis di kelas. Saking kritisnya, siswa itu dibolehkan mengajukan berbagai pertanyaan atau bahkan mendebat informasi yang disampaikan gurunya. Semua itu terjadi lantaran kultur sekolah-sekolah di Finlandia yang memberi siswanya kebebasan untuk berpikir secara kritis.

“Kok beda sekali ya dengan budaya sekolah di Indonesia,” saya membatin. Pikiran saya pun terbayang suasana belajar di kelas, yang pernah saya alami sebelumnya.

Sepanjang pengetahuan saya, di Indonesia, guru memang masih dianggap sebagai pusat ilmu pengetahuan. Tidaklah heran kalau kata-kata guru sering dianggap seperti “wasiat”, yang harus langsung ditelan mentah-mentah di dalam pikiran.

Maka, ilmu yang disampaikan guru pun seolah-olah mutlak dan sulit terbantahkan. Jangankan ikut mengkritisi ilmu yang disampaikan, sewaktu mengajukan pertanyaan atau pendapat yang kontra saja, kita terkadang harus siap menghadapi “semprotan” guru. Apalagi guru yang mengajar memiliki riwayat darah tinggi dan punya sifat mudah tersinggung.

Kalau sudah begitu, kita akan mendapat “bonus” berupa label “anak nakal” atau “anak tidak tahu sopan santun”. Jadilah kita “anak tiri” di kelas, yang akan perlakukan berbeda oleh guru yang bersangkutan. Selain sudah mendapat label demikian, kita pun cenderung memperoleh nilai yang buruk akibat adanya label itu.

Padahal, tujuan kita bersikap kritis seperti itu adalah untuk menguak kebenaran. Bukannya ingin mengetes pengetahuan seorang guru. Apalagi ingin menunjukkan sikap kurang ajar. Namun, lantaran budaya pendidikan di Indonesia yang masih menempatkan guru sebagai subjek dan siswa sebagai objek, terjadilah peristiwa kurang menyenangkan seperti itu.

Biarpun demikian, guru tetaplah memegang peranan penting dalam membangun kualitas sumber daya manusia di sebuah negara. Finlandia, yang jumlah penduduknya sekitar 6 juta jiwa, bisa menjadi negara maju dalam sejumlah bidang lantaran kualitas gurunya yang baik.

Di Finlandia, guru adalah sebuah profesi terhormat. Profesi tersebut pun diganjar gaji besar. Sekadar informasi, menurut Huffington Post, guru di Finlandia rata-rata menerima gaji USD 28.780 atau Rp 320 juta per tahun. Oleh sebab itu, anak-anak muda di Finlandia pun banyak yang “terpincut” menjadi guru.

Kalau di Indonesia? Saya rasa tak perlu menjelaskannya secara panjang lebar lantaran seluk-beluk profesi guru sudah menjadi "rahasia umum" di masyarakat. Saking umumnya, bahkan sampai ada meme yang bunyinya kurang-lebih begini: “Guru dibayar murah untuk memperbaiki mental anak bangsa, sementara aktris sinetron dibayar mahal untuk merusaknya.” Hehehe.

Memang tak bisa dipungkiri kalau kualitas seorang guru menentukan pencapaian siswanya. Hubungan guru dan siswanya itu ibarat hubungan antara atasan dan staf di sebuah perusahaan.

Dalam tulisan “Gue Rasanya Mau Resign Aja” di bawah ini, saya memaparkan bahwa prestasi seorang staf dapat terdongkrak kalau ia bekerja di bawah bimbingan atasan yang kompeten dan cerdas emosi. Sebaliknya, seorang staf akan mengalami kemunduran kalau terus mendapat tekanan dari atasannya yang otoriter.

Demikian pula yang terjadi manakala seorang siswa belajar di bawah bimbingan guru yang berkualitas baik. Siswa itu tentunya tak hanya akan menjadi lebih percaya diri, tetapi juga mampu menguasai pelajar dengan cepat. Pun sebaliknya.

Jadi, untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, seperti disarankan Juha Christensen, perbaiki dulu kualitas gurunya. Untuk itu, guru pun harus bersedia menerima kritik dari siswanya. Kalau memang kritik itu baik sifatnya dan disampaikan secara sopan, mengapa guru harus tersinggung, jengkel, dan sewot? Toh, itu disampaikan untuk kebaikan bersama juga.

Semoga ke depannya kualitas guru-guru Indonesia bertambah baik.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun