Setelah lima puluh tahun bersama, akhirnya, kami sepakat melangsungkan pernikahan “kembali”. Sudah sedemikian lama, aku tidak lagi memakai gaun pernikahan. Namun, sewaktu mengenakan gaun kuning cerah ini, aku merasa menjadi jauh lebih muda, dan semua kenangan selama lima puluh tahun sebelumnya hadir di dalam ingatanku, seolah kejadian itu baru saja berlangsung kemarin sore.
Suamiku yang sudah setia mendampingiku sekian lama terlihat tampan pada malam itu. Ia mengenakan kemeja putih yang dibalut jas hitam. Rambutnya yang sudah beruban tersisir rapi ke belakang. Namun demikian, dasi kupu-kupu yang dikenakannya terlihat miring. Oleh sebab itu, dengan sigap, aku membetulkan letaknya. Ia tersenyum menatapku dan aku bisa melihat bayangan wajahku terpantul di kacamatanya yang tebal.
Pintu aula terbuka perlahan-lahan, dan kemudian terdengarlah alunan lagu “Gereja Tua” karya Panbers. Sebuah lagu yang membetot semua kenangan manis di dalam gudang kesadaran kami.
Hanya satu yang tak terlupakan
Kala senja di gereja tua
Waktu itu hujan rintik-rintik
Kita berteduh di bawah atapnya
Kita berdiri begitu rapat
Hingga suasana begitu hangat
Tanganmu kupegang erat-erat
Kenangan itu selalu kuingat
Lima puluh tahun yang lalu, suamiku menggandeng tanganku ke altar. Namun, kini akulah yang menggenggam tangannya. Kami berjalan bersama menuju pelaminan, melewati barisan kursi yang terisi penuh oleh anggota keluarga dan kerabat. Kami melangkah pelan-pelan. Namun, aku bisa mendengar suara sol sepatu suamiku yang beradu dengan lantai.
Suamiku memang mengalami gangguan memori sejak sepuluh tahun yang lalu. Oleh dokter syaraf, ia didiagnosa terkena Alzheimer. Sepanjang pengetahuanku, Alzheimer adalah penyakit degeneratif yang menyerang sistem saraf di otak. Penyakit itu umumnya menjangkiti orang-orang yang berusia di atas 60 tahun. Namun demikian, akibat pola hidup yang kurang sehat, seperti depresi dan rokok, kini sudah ada anak muda berusia 28 tahun yang terserang Alzheimer!
Penyakit itu mulai menjangkiti suamiku ketika ia memasuki usia tujuh puluh tahun. Awalnya ia mengeluh sering lupa meletakkan sesuatu, seperti kunci mobil, flasdisk, dan dompet. Kami menganggapnya wajar. “Lupa itu lumrah terjadi pada setiap orang.” Kami berpikiran demikian sehingga tak segera memeriksakannya ke dokter.
Namun, seiring berjalannya waktu, suamiku mulai melupakan banyak hal. Aku ingat suatu hari, suamiku mandi sampai sepuluh kali! Semua itu terjadi karena ia lupa bahwa ia sudah mandi sebelumnya! Kemudian, ia pun sering mengulang-ulang topik pembicaraan yang sama, sehingga kami merasa bosan mengobrol bersamanya.
Kami pun memutuskan membawanya ke dokter lantaran kondisinya sudah terlihat mengkhawatirkan. Setelah menjalani scan di sekujur tubuhnya dan pemeriksaan yang panjang, dokter akhirnya memvonis kalau suamiku terkena Alzheimer.
“Apakah ada kemungkinan untuk sembuh, dok?” Tanya anakku, Valen, yang saat itu datang menemani kami berobat.
“Sejauh ini, Alzheimer belum ada obatnya,” kata dokter dengan suara berat. “Namun, kita bisa melakukan terapi secara rutin untuk memperlambat kerusakan memori yang mungkin terjadi.”
“Kamu mencari apa, Pa?” Aku bertanya.
Sambil mencari-cari di kolong tempat tidur, ia berkata dengan suara panik, “Ma, kamu lihat dasi merah Papa?”
“Dasi merah yang mana?”
“Itu lho yang biasa papa pakai kerja.”
Aku tertegun sejenak. Kemudian, pikiranku segera melayang pada “dasi spesial” miliknya. Sebuah dasi pemberian anak kami, Rivan, yang waktu itu baru saja pulang dari luar negeri.
Namun, bukankah dasi itu sudah dibuang tiga puluh tahun yang lalu karena sudah sedemikian usang? Lagi pula, untuk apa, ia mencari-cari dasi itu? Bukankah ia sudah pensiun sekarang?
Dari situ aku belajar bahwa penderita Alzheimer mengalami kekacauan dalam mengenali waktu. Peristiwa yang sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu dianggap terjadi hari ini!
Selain itu, penderita Alzheimer pun lebih mudah tersesat ketika berada di tempat umum. Semua itu terjadi lantaran ia mudah lupa akan alamat tempat tinggalnya. Oleh sebab itu, sewaktu pergi jalan-jalan ke mall atau wahana rekreasi, kami sengaja mengalungkan sebuah name tag di lehernya. Jadi, sewaktu ia tersasar, akan ada orang baik yang menghubungi kami dengan membaca informasi di name tag itu.
Ibarat pasir hisap yang banyak ditayangkan di film-film petualangan, penyakit Alzheimer pelan-pelan menelan kepribadian suamiku. Ia tak lagi menunjukkan sikap optimis dalam menjalani hidup, tetapi mulai sering meleburkan diri dalam depresi berkepanjangan.
Bahkan, aku pernah memergokinya tengah berbicara seorang diri. Sewaktu aku bertanya dengan siapa ia mengobrol, ia menatap lekat-lekat mataku, dan tersenyum.
“Ma, perkenalkan ini Merian,” katanya. “Merian, ini adalah istriku.” Suamiku berbicara dengan kursi kosong di sebelahnya! Ia tampaknya tengah berhalusinasi.
“Merian siapa Pa?” tanyaku dengan suara yang sedikit gugup.
“Merian tetangga baru kita, Ma,” katanya lagi. “Ia baru pindah dari Australi minggu lalu.”
Sejak saat itu, Merian menjadi “anggota baru” dalam keluarga kami. Di meja makan, suamiku tak hanya mengobrol bersama kami, tetapi juga berbincang dengan “kursi kosong” yang khusus disediakan untuk Merian.
Awalnya kami hanya bisa mengernyitkan dahi dan menatap satu sama lainnya dengan pandangan penuh heran. Sejujurnya kami sedih melihat tingkah suamiku.
Namun, kami pantang berputus asa. Kami mengetahui kalau ini adalah sebuah ujian besar dalam kehidupan rumah tangga kami. Kami bertekad melampaui ujian ini sehingga keluarga kami tetap utuh dan bahagia.
Kami akan merawat suamiku sebaik-baiknya.
Dua kali seminggu, dengan ditemani anak-anak, aku membawa suamiku ke rumah sakit untuk menjalani terapi. Aku menemaninya selama terapi pemijatan berlangsung.
Saat suamiku terserang demam tinggi, buru-buru aku mengompresnya dengan es batu. Kemudian, sewaktu suamiku susah makan, dengan penuh kesabaran, aku menyuapinya sedikit demi sedikit.
Sementara itu, ketika suamiku terjaga pada malam hari setelah mendapat mimpi buruk, aku memeluk tubuhnya, mengelus punggungnya, dan membisikkan kalimat yang menenangkan: “Semuanya akan baik-baik saja, Pa.”
Dengan penuh welas kasih, aku merawat suamiku. Aku memandikannya, membersihkan kotorannya, dan menuntunnya ke manapun kami pergi. Semua itu aku lakukan tanpa merasa jijik atau risih, lantaran aku sangat mencintainya, dan mengharapkan pemulihannya.
Bahkan, halusinasinya pun jauh berkurang. Sosok Merian yang menjadi “sahabat dekat”-nya perlahan-lahan hilang seperti kabut asap yang tersapu oleh embusan angin. Akhirnya, suamiku terbangun dari mimpinya.
Sesuai anjuran dokter, aku membelikannya sebuah buku sodoku. Permainan itu tak hanya mampu mengalihkan perhatiannya dari Merian, teman imajinernya, tetapi juga menghambat laju penurunan memorinya.
Aku memintanya mengisi kotak sodaku setiap hari. Saat mendapat kesulitan, ia akan bertanya kepadaku, dan kami memecahkan persoalan itu bersama-sama. Lewat “permainan kotak-katik angka” seperti itu, kami menemukan sebuah momen kebersamaan yang kuat.
Suatu pagi, suamiku sedang melihat-lihat album foto yang tersimpan di rak buku. Aku mendekatinya. “Papa ingat hari pernikahan kita?” kataku sambil melihat fotoku bersama suamiku yang diambil puluhan tahun yang lalu.
Ia terdiam sejenak, dan kemudian menggelengkan kepalanya. “Memangnya kapan kita menikah, Ma?”
Aku menyebutkan tanggal pernikahan kami. “Tahun ini tepat lima puluh tahun usia pernikahan kita,” kataku dengan sedikit kecewa lantaran suamiku sudah melupakan semua kenangan manis itu.
Namun, kekecewaan itu sirna setelah ia berbisik: “Aku sudah lupa, tetapi bisakah kita menikah lagi?”
“Mengapa, Pa?” tanyaku penasaran atas keinginannya.
“Papa ingin merasakannya lagi,” katanya, “ingin menyimpan kenangan yang satu ini selamanya.”
Sewaktu aku menceritakan obrolan itu kepada anak-anak, mereka malah mendukung. Dalam waktu sebulan, mereka menyiapkan acara pernikahan kami, dan jadilah kami menikah untuk kedua kalinya.
Betapa terharunya diriku sewaktu berdiri di pelaminan bersama suamiku. Walaupun situasinya jauh berbeda dengan kondisi pernikahan yang kami alami lima puluh tahun yang lalu, atmosfernya tetaplah sama: penuh sukacita.
Dalam acara itu, kami saling bertukar cincin kawin, yang pernah kami pakai dahulu. Bukan terbuat dari emas 24 karat. Bukan pula terbikin dari berlian yang berkilauan. Hanya sebuah cincin perak sederhana, yang dibeli oleh suamiku dari upah kerjanya kala itu. Namun, dengan kemurnian cinta yang kami miliki, cincin itu menjelma perhiasan yang paling berkilauan di antara bongkahan berlian mana pun di dunia!
Cerpen Sebelumnya: Ada Apa dengan Sungai Tengari?