Sejak saat itu, Merian menjadi “anggota baru” dalam keluarga kami. Di meja makan, suamiku tak hanya mengobrol bersama kami, tetapi juga berbincang dengan “kursi kosong” yang khusus disediakan untuk Merian.
Awalnya kami hanya bisa mengernyitkan dahi dan menatap satu sama lainnya dengan pandangan penuh heran. Sejujurnya kami sedih melihat tingkah suamiku.
Namun, kami pantang berputus asa. Kami mengetahui kalau ini adalah sebuah ujian besar dalam kehidupan rumah tangga kami. Kami bertekad melampaui ujian ini sehingga keluarga kami tetap utuh dan bahagia.
Kami akan merawat suamiku sebaik-baiknya.
Dua kali seminggu, dengan ditemani anak-anak, aku membawa suamiku ke rumah sakit untuk menjalani terapi. Aku menemaninya selama terapi pemijatan berlangsung.
Saat suamiku terserang demam tinggi, buru-buru aku mengompresnya dengan es batu. Kemudian, sewaktu suamiku susah makan, dengan penuh kesabaran, aku menyuapinya sedikit demi sedikit.
Sementara itu, ketika suamiku terjaga pada malam hari setelah mendapat mimpi buruk, aku memeluk tubuhnya, mengelus punggungnya, dan membisikkan kalimat yang menenangkan: “Semuanya akan baik-baik saja, Pa.”
Dengan penuh welas kasih, aku merawat suamiku. Aku memandikannya, membersihkan kotorannya, dan menuntunnya ke manapun kami pergi. Semua itu aku lakukan tanpa merasa jijik atau risih, lantaran aku sangat mencintainya, dan mengharapkan pemulihannya.
Bahkan, halusinasinya pun jauh berkurang. Sosok Merian yang menjadi “sahabat dekat”-nya perlahan-lahan hilang seperti kabut asap yang tersapu oleh embusan angin. Akhirnya, suamiku terbangun dari mimpinya.