Lima puluh tahun yang lalu, suamiku menggandeng tanganku ke altar. Namun, kini akulah yang menggenggam tangannya. Kami berjalan bersama menuju pelaminan, melewati barisan kursi yang terisi penuh oleh anggota keluarga dan kerabat. Kami melangkah pelan-pelan. Namun, aku bisa mendengar suara sol sepatu suamiku yang beradu dengan lantai.
Suamiku memang mengalami gangguan memori sejak sepuluh tahun yang lalu. Oleh dokter syaraf, ia didiagnosa terkena Alzheimer. Sepanjang pengetahuanku, Alzheimer adalah penyakit degeneratif yang menyerang sistem saraf di otak. Penyakit itu umumnya menjangkiti orang-orang yang berusia di atas 60 tahun. Namun demikian, akibat pola hidup yang kurang sehat, seperti depresi dan rokok, kini sudah ada anak muda berusia 28 tahun yang terserang Alzheimer!
Penyakit itu mulai menjangkiti suamiku ketika ia memasuki usia tujuh puluh tahun. Awalnya ia mengeluh sering lupa meletakkan sesuatu, seperti kunci mobil, flasdisk, dan dompet. Kami menganggapnya wajar. “Lupa itu lumrah terjadi pada setiap orang.” Kami berpikiran demikian sehingga tak segera memeriksakannya ke dokter.
Namun, seiring berjalannya waktu, suamiku mulai melupakan banyak hal. Aku ingat suatu hari, suamiku mandi sampai sepuluh kali! Semua itu terjadi karena ia lupa bahwa ia sudah mandi sebelumnya! Kemudian, ia pun sering mengulang-ulang topik pembicaraan yang sama, sehingga kami merasa bosan mengobrol bersamanya.
Kami pun memutuskan membawanya ke dokter lantaran kondisinya sudah terlihat mengkhawatirkan. Setelah menjalani scan di sekujur tubuhnya dan pemeriksaan yang panjang, dokter akhirnya memvonis kalau suamiku terkena Alzheimer.
“Apakah ada kemungkinan untuk sembuh, dok?” Tanya anakku, Valen, yang saat itu datang menemani kami berobat.
“Sejauh ini, Alzheimer belum ada obatnya,” kata dokter dengan suara berat. “Namun, kita bisa melakukan terapi secara rutin untuk memperlambat kerusakan memori yang mungkin terjadi.”
“Kamu mencari apa, Pa?” Aku bertanya.
Sambil mencari-cari di kolong tempat tidur, ia berkata dengan suara panik, “Ma, kamu lihat dasi merah Papa?”