“Dasi merah yang mana?”
“Itu lho yang biasa papa pakai kerja.”
Aku tertegun sejenak. Kemudian, pikiranku segera melayang pada “dasi spesial” miliknya. Sebuah dasi pemberian anak kami, Rivan, yang waktu itu baru saja pulang dari luar negeri.
Namun, bukankah dasi itu sudah dibuang tiga puluh tahun yang lalu karena sudah sedemikian usang? Lagi pula, untuk apa, ia mencari-cari dasi itu? Bukankah ia sudah pensiun sekarang?
Dari situ aku belajar bahwa penderita Alzheimer mengalami kekacauan dalam mengenali waktu. Peristiwa yang sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu dianggap terjadi hari ini!
Selain itu, penderita Alzheimer pun lebih mudah tersesat ketika berada di tempat umum. Semua itu terjadi lantaran ia mudah lupa akan alamat tempat tinggalnya. Oleh sebab itu, sewaktu pergi jalan-jalan ke mall atau wahana rekreasi, kami sengaja mengalungkan sebuah name tag di lehernya. Jadi, sewaktu ia tersasar, akan ada orang baik yang menghubungi kami dengan membaca informasi di name tag itu.
Ibarat pasir hisap yang banyak ditayangkan di film-film petualangan, penyakit Alzheimer pelan-pelan menelan kepribadian suamiku. Ia tak lagi menunjukkan sikap optimis dalam menjalani hidup, tetapi mulai sering meleburkan diri dalam depresi berkepanjangan.
Bahkan, aku pernah memergokinya tengah berbicara seorang diri. Sewaktu aku bertanya dengan siapa ia mengobrol, ia menatap lekat-lekat mataku, dan tersenyum.
“Ma, perkenalkan ini Merian,” katanya. “Merian, ini adalah istriku.” Suamiku berbicara dengan kursi kosong di sebelahnya! Ia tampaknya tengah berhalusinasi.
“Merian siapa Pa?” tanyaku dengan suara yang sedikit gugup.
“Merian tetangga baru kita, Ma,” katanya lagi. “Ia baru pindah dari Australi minggu lalu.”