“Apakah kamu termasuk orang yang rajin menabung atau susah menabung?” Saya mengajukan pertanyaan itu kepada beberapa teman di kontak Line saya. Saya memang tengah melakukan sebuah riset kecil-kecilan soal budaya menabung di kalangan pekerja muda. Saya selalu merasa ingin tahu apakah mereka termasuk orang yang rajin menyisihkan sebagian pendapatan atau malah getol menghabiskannya.
Mayoritas memang menjawab rajin menabung. Biarpun demikian, masih ada juga teman saya yang mengeluh sulitnya menabung. Ia mengaku sukar menahan godaan untuk membelanjakan uangnya. Sebagai contoh, K, 24 tahun, menulis susah menyisihkan uang yang diperolehnya lantaran mudah “terpincut” membeli keperluan pribadi dan sekadar jalan-jalan.
![Persoalan Menabung Bukan Melulu Nominal Uang, Melainkan Kemauan dan Pengendalian Diri/ dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/15/kevin-57da396fd27a61fd5f307641.png?t=o&v=770)
![Setiap Orang Memiliki Tujuan yang Berbeda dalam Menabung/ dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/15/tisa-57da3824589773de41007aab.png?t=o&v=770)
Namun demikian, berdasarkan pengalaman saya, kalau menggunakan pola tersebut, kita jarang sekali memiliki sisa uang untuk ditabung. Uang yang sudah diperoleh biasanya sudah habis dipakai. Untuk bulan-bulan tertentu, kita bahkan harus berutang untuk menutupi keperluan mendadak yang muncul. Oleh sebab itu, kalau terbiasa menggunakan pola itu, janganlah heran kalau kita terkena efek “12 Pas”: Pas tanggal 12, uang gajian sudah ludes digunakan untuk sejumlah kepentingan.
Pada pola yang kedua, kita memprioritaskan tabungan terlebih dahulu, baru membelanjakan sisanya. Teman saya, A, 22 tahun, menerapkan pola itu dalam menabung. Menurutnya, begitu memperoleh penghasilan, ia langsung membagi uang untuk ditabung terlebih dahulu, dan kemudian tabungan yang sudah ada jangan “disentuh” sedikit pun. Teman-teman yang lain pun menjawab demikian.
![Kesuksesan dalam Menabung Juga Ditentukan oleh Pola Menabung yang Tepat/ dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/15/ariya-57da3bdc557b614c4d87681b.png?t=o&v=770)
Bagi pekerja muda seperti teman-teman saya, peningkatan tabungan tidak hanya menjadi dasar untuk membangun kemapanan finansial, tetapi juga menjadi prasyarat untuk menyukseskan bonus demografi. Sejak beberapa tahun silam, pemerintah memang sudah mengumumkan kalau Indonesia tengah menikmati bonus demografi dari tahun 2012-2035. Bonus demografi adalah sebuah situasi ketika struktur penduduk didominasi oleh orang-orang yang berusia produktif. Situasi itu sebetulnya merupakan buah kesuksesan program KB yang dilaksanakan oleh BKKBN beberapa dekade lalu. Berkat program tersebut, mayoritas penduduk berusia 15-64 tahun kini banyak menguasai struktur kependudukan.
![Jumlah Penduduk Berusia Produktif Menguasai Struktur Piramida/ www.beritasatu.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/15/beritasatucom-57da3c418423bdf740d82c5d.jpg?t=o&v=770)
Namun demikian, tidak semua negara mampu memanfaatkan bonus demografi secara maksimal. Beberapa negara, seperti Brazil dan Afrika Selatan, malah melewatkan “kesempatan emas” itu begitu saja lantaran ketidaksiapan pemerintah, kesehatan masyarakat yang buruk, dan diskriminasi sosial di masyarakat. Akibatnya, laju perekonomian kedua negara itu berjalan lambat, bahkan berada di bawah ekspetasi, selama periode bonus demografi.
Untuk memaksimalkan bonus demografi, terdapat lima prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) meningkatkan sumber daya manusia lewat pendidikan dan pelayanan kesehatan, (2) menyediakan lapangan kerja yang berkualitas, (3) menggiatkan program KB, (4) memberi kesempatan kepada perempuan untuk memasuki angkatan kerja, dan (5) meningkatkan tabungan. Kalau semua prasyarat tersebut dipenuhi, Indonesia dapat menikmati bonus demografi demi kesejahteraan negara.
Kita tentunya boleh bersikap optimis bahwa Indonesia akan mampu mengelola bonus demografi dengan maksimal lantaran salah satu prasyarat, yaitu peningkatan tabungan, sudah terpenuhi, sebagaimana tampak pada hasil riset yang saya lakukan. Mayoritas teman saya memang sudah mempunyai kesadaran menabung. Hal itu tentunya tak hanya baik untuk kesejahteraan mereka pada masa depan, tetapi juga meningkatkan perekonomian Indonesia.
Namun demikian, menurut hemat saya, menabung saja tidaklah cukup lantaran nilai tabungan bisa tergerus oleh laju inflasi. Para pekerja muda harus mulai “melek” investasi untuk mengimbangi tingkat inflasi. Namun demikian, sewaktu saya bertanya, “Apakah kamu sudah menggunakan instrumen investasi, seperti reksa dana atau saham?” Mayoritas menjawab belum. Namun, mereka telah mempunyai rencana untuk berinvestasi dengan menggunakan instrumen lain, seperti deposito. Jadi, apapun instrumennya, kesadaran untuk berinvestasi sebetulnya sudah mulai bertumbuh di kalangan pekerja muda. Hanya saja, niat untuk berinvestasi sering tertunda lantaran ketidaktahuan dalam memilih instrumen investasi yang tepat dan kabar investasi bodong yang banyak tersiar beberapa waktu lalu.
Kunci kesuksesan dalam menabung adalah soal kemauan. Apabila kemauan itu dapat terus dijaga konsistensinya, berapapun pendapatan yang disisihkan, budaya menabung, terutama di kalangan pekerja muda, akan terbentuk. Budaya itu tentunya tak hanya memberi nilai yang positif bagi diri sendiri, tetapi juga turut membantu negara dalam menyukseskan bonus demografi. Jadi, sejak saat ini, marilah kita membiasakan diri menabung demi kesejahteraan diri sendiri dan negara kelak.
Referensi: “Siapa Mau Bonus? PeluangDemografi Indonesia”, Nursodik Gunarjo dan Wahyu Aji (ed), Kementerian Komunikasi dan Informatika
Facebook: www.facebook.com/adica.wirawan
Twitter : @AdicaWirawan