Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

“Mengapa Kamu Susah Menabung?”

20 September 2016   07:41 Diperbarui: 20 September 2016   07:43 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persoalan Menabung Bukan Melulu Nominal Uang, Melainkan Kemauan dan Pengendalian Diri/ dokumentasi pribadi

“Apakah kamu termasuk orang yang rajin menabung atau susah menabung?” Saya mengajukan pertanyaan itu kepada beberapa teman di kontak Line saya. Saya memang tengah melakukan sebuah riset kecil-kecilan soal budaya menabung di kalangan pekerja muda. Saya selalu merasa ingin tahu apakah mereka termasuk orang yang rajin menyisihkan sebagian pendapatan atau malah getol menghabiskannya.

Mayoritas memang menjawab rajin menabung. Biarpun demikian, masih ada juga teman saya yang mengeluh sulitnya menabung. Ia mengaku sukar menahan godaan untuk membelanjakan uangnya. Sebagai contoh, K, 24 tahun, menulis susah menyisihkan uang yang diperolehnya lantaran mudah “terpincut” membeli keperluan pribadi dan sekadar jalan-jalan.

Persoalan Menabung Bukan Melulu Nominal Uang, Melainkan Kemauan dan Pengendalian Diri/ dokumentasi pribadi
Persoalan Menabung Bukan Melulu Nominal Uang, Melainkan Kemauan dan Pengendalian Diri/ dokumentasi pribadi
Kemudian, pada pertanyaan kedua, saya mencoba menyelidiki tujuan mereka dalam menabung. Jawaban yang saya terima ternyata bermacam-macam. Ada yang menjawab untuk (1) kesehatan, (2) keperluan mendesak, (3) beli rumah, dan (4) investasi. Namun demikian, di antara perbedaan itu, terdapat satu persamaan: mayoritas menabung untuk simpanan masa depan. Dari situ terlihat kalau teman-teman saya sudah sadar merencanakan keuangan secermat mungkin untuk masa depan mereka.

Setiap Orang Memiliki Tujuan yang Berbeda dalam Menabung/ dokumentasi pribadi
Setiap Orang Memiliki Tujuan yang Berbeda dalam Menabung/ dokumentasi pribadi
Sementara itu, pada pertanyaan ketiga, saya mencoba menguak pola kebiasaan mereka dalam menabung. Sebagaimana diketahui, ada dua pola, yang biasanya kita lakukan pada saat menabung, yaitu belanja-dulu-baru-tabung dan tabung-dulu-baru-belanja. Pola pertama umumnya diterapkan oleh masyarakat luas. Berdasarkan pola itu, sewaktu menerima pendapatan, seseorang terbiasa membelanjakan uangnya terlebih dulu untuk pelbagai keperluan seperti tagihan listrik, asuransi, dan SPP anak. Kemudian, kalau masih ada sisa, ia baru menabung.

Namun demikian, berdasarkan pengalaman saya, kalau menggunakan pola tersebut, kita jarang sekali memiliki sisa uang untuk ditabung. Uang yang sudah diperoleh biasanya sudah habis dipakai. Untuk bulan-bulan tertentu, kita bahkan harus berutang untuk menutupi keperluan mendadak yang muncul. Oleh sebab itu, kalau terbiasa menggunakan pola itu, janganlah heran kalau kita terkena efek “12 Pas”: Pas tanggal 12, uang gajian sudah ludes digunakan untuk sejumlah kepentingan.

Pada pola yang kedua, kita memprioritaskan tabungan terlebih dahulu, baru membelanjakan sisanya. Teman saya, A, 22 tahun, menerapkan pola itu dalam menabung. Menurutnya, begitu memperoleh penghasilan, ia langsung membagi uang untuk ditabung terlebih dahulu, dan kemudian tabungan yang sudah ada jangan “disentuh” sedikit pun. Teman-teman yang lain pun menjawab demikian.

Kesuksesan dalam Menabung Juga Ditentukan oleh Pola Menabung yang Tepat/ dokumentasi pribadi
Kesuksesan dalam Menabung Juga Ditentukan oleh Pola Menabung yang Tepat/ dokumentasi pribadi
Namun, selanjutnya saya mengajukan pertanyaan iseng: “Ketika tengah bulan, sewaktu kamu mau belanja baju, jalan-jalan, atau keperluan lain, apakah kamu sering mengambil uang yang sudah disisihkan di awal, atau tetap bertahan di tengah krisis keuangan itu?” Sebagian teman menjawab tetap bertahan, sementara lainnya akan mengambil tabungan kalau keperluan itu betul-betul harus dipenuhi. Dari jawaban itu terlihat kalau beberapa orang mudah tergoda menggunakan tabungannya dan lainnya tetap kukuh pada pendiriannya dalam menabung. Kesuksesan dalam menabung memang ditentukan oleh penguasaan emosi pada diri masing-masing.

Bagi pekerja muda seperti teman-teman saya, peningkatan tabungan tidak hanya menjadi dasar untuk membangun kemapanan finansial, tetapi juga menjadi prasyarat untuk menyukseskan bonus demografi. Sejak beberapa tahun silam, pemerintah memang sudah mengumumkan kalau Indonesia tengah menikmati bonus demografi dari tahun 2012-2035. Bonus demografi adalah sebuah situasi ketika struktur penduduk didominasi oleh orang-orang yang berusia produktif. Situasi itu sebetulnya merupakan buah kesuksesan program KB yang dilaksanakan oleh BKKBN beberapa dekade lalu. Berkat program tersebut, mayoritas penduduk berusia 15-64 tahun kini banyak menguasai struktur kependudukan.

Jumlah Penduduk Berusia Produktif Menguasai Struktur Piramida/ www.beritasatu.com
Jumlah Penduduk Berusia Produktif Menguasai Struktur Piramida/ www.beritasatu.com
Bonus demografi ibarat sebidang tanah subur, yang mampu menghasilkan panen melimpah berupa kemajuan ekonomi, budaya, dan politik bagi sebuah negara. Apabila dikelola dengan baik, bonus demografi dapat mendatangkan berkah. Sejumlah negara, seperti China, Korea, dan Singapura terbukti mampu memaksimalkan bonus demografi. Semua itu berkat strategi jitu yang diterapkan negara-negara itu. Sebagai contoh, selama periode bonus demografi, China mengendalikan ledakan penduduk dengan membatasi jumlah anak yang “wajib” dimiliki sebuah keluarga, terus menggenjot pembangunan infrastruktur, meningkatkan mutu pendidikan, dan memompa perekonomian dalam negeri. Akibatnya, perekonomian negeri Tirai Bambu itu kini dapat meningkat pesat hanya dalam beberapa dekade. Strategi yang diterapkan pemerintah China ternyata berhasil memaksimalkan bonus demografi yang terjadi.

Namun demikian, tidak semua negara mampu memanfaatkan bonus demografi secara maksimal. Beberapa negara, seperti Brazil dan Afrika Selatan, malah melewatkan “kesempatan emas” itu begitu saja lantaran ketidaksiapan pemerintah, kesehatan masyarakat yang buruk, dan diskriminasi sosial di masyarakat. Akibatnya, laju perekonomian kedua negara itu berjalan lambat, bahkan berada di bawah ekspetasi, selama periode bonus demografi.

Untuk memaksimalkan bonus demografi, terdapat lima prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) meningkatkan sumber daya manusia lewat pendidikan dan pelayanan kesehatan, (2) menyediakan lapangan kerja yang berkualitas, (3) menggiatkan program KB, (4) memberi kesempatan kepada perempuan untuk memasuki angkatan kerja, dan (5) meningkatkan tabungan. Kalau semua prasyarat tersebut dipenuhi, Indonesia dapat menikmati bonus demografi demi kesejahteraan negara.

Kita tentunya boleh bersikap optimis bahwa Indonesia akan mampu mengelola bonus demografi dengan maksimal lantaran salah satu prasyarat, yaitu peningkatan tabungan, sudah terpenuhi, sebagaimana tampak pada hasil riset yang saya lakukan. Mayoritas teman saya memang sudah mempunyai kesadaran menabung. Hal itu tentunya tak hanya baik untuk kesejahteraan mereka pada masa depan, tetapi juga meningkatkan perekonomian Indonesia.

Namun demikian, menurut hemat saya, menabung saja tidaklah cukup lantaran nilai tabungan bisa tergerus oleh laju inflasi. Para pekerja muda harus mulai “melek” investasi untuk mengimbangi tingkat inflasi. Namun demikian, sewaktu saya bertanya, “Apakah kamu sudah menggunakan instrumen investasi, seperti reksa dana atau saham?” Mayoritas menjawab belum. Namun, mereka telah mempunyai rencana untuk berinvestasi dengan menggunakan instrumen lain, seperti deposito. Jadi, apapun instrumennya, kesadaran untuk berinvestasi sebetulnya sudah mulai bertumbuh di kalangan pekerja muda. Hanya saja, niat untuk berinvestasi sering tertunda lantaran ketidaktahuan dalam memilih instrumen investasi yang tepat dan kabar investasi bodong yang banyak tersiar beberapa waktu lalu.

Kunci kesuksesan dalam menabung adalah soal kemauan. Apabila kemauan itu dapat terus dijaga konsistensinya, berapapun pendapatan yang disisihkan, budaya menabung, terutama di kalangan pekerja muda, akan terbentuk. Budaya itu tentunya tak hanya memberi nilai yang positif bagi diri sendiri, tetapi juga turut membantu negara dalam menyukseskan bonus demografi. Jadi, sejak saat ini, marilah kita membiasakan diri menabung demi kesejahteraan diri sendiri dan negara kelak.

Referensi: “Siapa Mau Bonus? PeluangDemografi Indonesia”, Nursodik Gunarjo dan Wahyu Aji (ed), Kementerian Komunikasi dan Informatika

Facebook: www.facebook.com/adica.wirawan

Twitter : @AdicaWirawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun