Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Tak Bisakah Kamu Menunggu Kereta Api Lewat Dulu?

1 September 2016   07:29 Diperbarui: 17 November 2016   11:23 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Palang Pintu Perlintasan Keretaapi di Kawasan Proyek, Bekasi, 28 Agustus 2016/ Dokumentasi Pribadi

Palang pintu perlintasan kereta api di kawasan Proyek, Bekasi, menghentikan laju kendaraan saya. Palang tersebut turun sesaat sebelum saya melintasi rel. Oleh sebab itu, saya berada persis di depan palang pintu sehingga bisa melihat jelas kereta api yang lewat. Namun, bukan itu yang menarik perhatian saya. Saya lebih tertarik mengamati perilaku pengemudi motor di sebelah saya yang nekat menerobos palang pintu walaupun sudah ada peringatan bahwa keretaapi akan segera lewat.

Palang pintu itu memang patah setengah sehingga hanya bisa menghalangi separuh jalan. Rupanya hal itu memberi mereka “celah” sehingga bisa menyerobot palang tersebut. Saat satu pengemudi berhasil menerobos palang pintu itu, yang lain pun segera mengikuti lantaran ogah menunggu kereta api yang lewat.

Apa yang sebetulnya dilakukan oleh pengemudi motor itu adalah sesuatu yang berbahaya. Kalau ikut-ikutan pengemudi lain, tanpa menyadari laju kereta api, bisa-bisa terjadi kecelakaan yang dapat merenggut banyak korban jiwa.

Saya ingat betul bahwa bertahun-tahun yang lalu pernah terjadi kecelakaan maut persis di perlintasan keretaapi itu. Berdasarkan informasi yang saya dengar, peristiwa itu terjadi pada sore hari. Saat itu memang terjadi kemacetan di sekitar pintu perlintasan lantaran banyak angkot menepikan kendaraannya sembarangan di sisi jalan. Hanya karena ulah sopir angkot yang ingin menarik lebih banyak penumpang, kemacetan terjadi sepanjang jalan.

Situasi mulai genting setelah terdengar sirine di pintu perlintasan. Sebuah kereta api akan segera lewat. Namun, lantaran terjadi stagnasi, beberapa kendaraan terjebak di tengah rel! Suara klakson terdengar memerintahkan kendaraan di depan bergerak maju. Namun, kemacetan sudah terlalu parah. Kereta api sudah terlihat mendekat dengan kecepatan tinggi.

Akhirnya kecelakaan pun tak bisa terelakkan. Beberapa kendaraan terpental dan terseret oleh hantaman lokomotif keretaapi. Saya tidak bisa mengingat jumlah korban jiwa dalam kecelakaan itu, tetapi itu adalah peristiwa kecelakaan terburuk yang pernah saya dengar.

Oleh sebab itu, sewaktu melihat perilaku pengemudi sepeda motor yang nekat memintas palang pintu, saya bertanya, “Tak bisakah kamu menunggu sebentar sampai keretaapi lewat terlebih dulu? Demi keselamatanmu, tak bersediakah kamu mengantre beberapa menit saja sambil menunggu keretaapi melintas? Bukankah palang pintu itu dibikin untuk keamanan kamu juga?”

Efek Pengakuan Sosial

Semua tindakan sembrono itu tampaknya terpengaruh oleh Efek Pengakuan Sosial. Sebagai makhluk sosial, kita memang mempunyai kecenderungan untuk mengikuti pikiran dan perilaku mayoritas. Kita berusaha meniru sejumlah aktivitas kelompok tertentu, seperti cara berpakaian, sikap, dan kebiasaan, supaya dianggap menjadi bagian kelompok tersebut.

Tidak ada yang salah dengan perilaku tersebut. Dalam buku The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobbeli bahkan menyebut bahwa perilaku tersebut adalah “strategi bertahan hidup”, yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Pada masa lalu, nenek moyang kita hidup berkelompok. Mereka mencari makan, menjelajahi suatu tempat, dan membina keluarga secara bersama-sama. Mereka memperoleh rasa aman ketika menjalani hidup seperti itu. Oleh sebab itu, supaya tetap diterima dalam kelompok, mereka berusaha mengikuti cara hidup orang lain.

Ilustrasi Pengakuan Sosial/ www.launchbit.com
Ilustrasi Pengakuan Sosial/ www.launchbit.com
Baik sadar maupun tidak, dalam kehidupan sehari-hari, kita turut terpengaruh oleh Efek Pengakuan Kelompok. Sebagai contoh, saya teringat pada darma wisata yang pernah saya ikuti di daerah Bandung. Sewaktu akan kembali ke Bekasi, saya menyempatkan diri mampir membeli oleh-oleh. Kawasan yang saya pilih untuk berbelanja adalah Cihampelas. Di kawasan itu tersedia beragam toko yang menawarkan produk: camilan, baju, dan karya seni.

Setelah berjalan melihat-lihat, mata saya tertuju pada sebuah toko makanan yang ramai dikunjungi. Toko tersebut berukuran kecil, tetapi padat betul oleh orang-orang yang mampir. Tanpa sadar, saya terpengaruh oleh orang-orang tersebut dan akhirnya memutuskan berbelanja camilan di toko itu, hanya karena “ikut-ikutan”, dan bukannya soal selera.

Namun demikian, tidak semua perilaku yang terpengaruh oleh Efek Pengakuan Kelompok patut ditiru, seperti perbuatan pengemudi sepeda motor yang “ikut-ikutan” menerobos palang pintu perlintasan keretaapi. Akal sehat mereka mungkin berkata bahwa tindakan tersebut keliru karena bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Namun, lantaran melihat satu orang berhasil menerobos palang pintu, secara emosional, mereka “tergoda” meniru tindakan yang sama. Akhirnya mereka pun ikut-ikutan menerobos pintu perlintasan itu.

Respon Relaksasi

Walaupun sejumlah pengemudi memutuskan menerobos palang pintu, saya tetap duduk tenang tanpa terpengaruh oleh perilaku mereka. Saya dapat berpikir dengan jernih. Lagi pula, pada saat itu, saya memang berkendara dengan santai lantaran masih banyak waktu yang tersedia untuk sampai ke tempat tujuan.

Namun demikian, tentu akan berbeda ceritanya kalau saya sedang terburu-buru. Misalnya saja, jika saya berkendara dengan tergesa-gesa lantaran takut telat masuk kantor, besar kemungkinan bahwa saya pun ikut terpengaruh oleh perilaku tersebut. Saya cenderung akan mengikuti perilaku pengemudi lain, yang berani menerobos palang pintu perlintasan. Saya mengabaikan suara akal sehat lantaran pikiran saya terpengaruhi oleh emosi. Akhirnya, saya seolah “melupakan” soal keselamatan pribadi karena terbawa emosi sesaat.

Bagaimanapun, perilaku itu tetap saja membahayakan diri sendiri. Oleh sebab itu, supaya dapat terhindar dari pengaruh emosi, kita harus belajar mengelola kesadaran. Kita harus mengetahui cara untuk mengembalikan kesadaran saat pikiran “terbanjiri” oleh luapan emosi. Hal itu penting dilakukan supaya kita tidak ceroboh mengambil sebuah putusan.

Respon Relaksasi Dilakukan dengan Mengelola Pernapasan/ www.info-on-high-blood-pressure.com
Respon Relaksasi Dilakukan dengan Mengelola Pernapasan/ www.info-on-high-blood-pressure.com
Untuk itu, kita dapat menerapkan "Respon Relaksasi" yang dikembangkan oleh Herbert Benson. "Respon Relaksasi" dilakukan dengan cara menarik napas yang dalam dan mengembuskan perlahan lewat mulut. "Respon relaksasi" tak hanya meredakan emosi yang muncul, tetapi juga menjernihkan pikiran. Dengan rutin melakukan "respon relaksasi", kita mampu mengenali kondisi pikiran yang tengah terpengaruh emosi, serta membangun kesadaran diri yang lebih kuat, sehingga sewaktu orang lain menerobos palang pintu keretaapi, kita tidak mengikuti perilaku tersebut demi keselamatan diri sendiri dan lingkungan.

---

Artikel sebelumnya:

“Syukurlah Kamu Memilih Menikah pada Usia Ideal”

Sukses Memelihara Kerukunan Beragama dengan Bakti Sosial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun