Setelah berjalan melihat-lihat, mata saya tertuju pada sebuah toko makanan yang ramai dikunjungi. Toko tersebut berukuran kecil, tetapi padat betul oleh orang-orang yang mampir. Tanpa sadar, saya terpengaruh oleh orang-orang tersebut dan akhirnya memutuskan berbelanja camilan di toko itu, hanya karena “ikut-ikutan”, dan bukannya soal selera.
Namun demikian, tidak semua perilaku yang terpengaruh oleh Efek Pengakuan Kelompok patut ditiru, seperti perbuatan pengemudi sepeda motor yang “ikut-ikutan” menerobos palang pintu perlintasan keretaapi. Akal sehat mereka mungkin berkata bahwa tindakan tersebut keliru karena bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. Namun, lantaran melihat satu orang berhasil menerobos palang pintu, secara emosional, mereka “tergoda” meniru tindakan yang sama. Akhirnya mereka pun ikut-ikutan menerobos pintu perlintasan itu.
Respon Relaksasi
Walaupun sejumlah pengemudi memutuskan menerobos palang pintu, saya tetap duduk tenang tanpa terpengaruh oleh perilaku mereka. Saya dapat berpikir dengan jernih. Lagi pula, pada saat itu, saya memang berkendara dengan santai lantaran masih banyak waktu yang tersedia untuk sampai ke tempat tujuan.
Namun demikian, tentu akan berbeda ceritanya kalau saya sedang terburu-buru. Misalnya saja, jika saya berkendara dengan tergesa-gesa lantaran takut telat masuk kantor, besar kemungkinan bahwa saya pun ikut terpengaruh oleh perilaku tersebut. Saya cenderung akan mengikuti perilaku pengemudi lain, yang berani menerobos palang pintu perlintasan. Saya mengabaikan suara akal sehat lantaran pikiran saya terpengaruhi oleh emosi. Akhirnya, saya seolah “melupakan” soal keselamatan pribadi karena terbawa emosi sesaat.
Bagaimanapun, perilaku itu tetap saja membahayakan diri sendiri. Oleh sebab itu, supaya dapat terhindar dari pengaruh emosi, kita harus belajar mengelola kesadaran. Kita harus mengetahui cara untuk mengembalikan kesadaran saat pikiran “terbanjiri” oleh luapan emosi. Hal itu penting dilakukan supaya kita tidak ceroboh mengambil sebuah putusan.
---
Artikel sebelumnya:
“Syukurlah Kamu Memilih Menikah pada Usia Ideal”
Sukses Memelihara Kerukunan Beragama dengan Bakti Sosial