Namun demikian, ada siswi saya yang mempunyai pandangan yang unik seputar motivasi menikah. Sebagai contoh, B, 19 tahun, menjelaskan, “Kalau menurutku menikah harus sama yang cocok bukan cuma aku cocok sama pasanganku, tapi dia juga harus cocok sama keluargaku begitu juga sebaliknya. Karena kan menikah itu bukan cuma mempersatukan dua orang, tapi dua keluarga….”
Uniknya, kriteria “satu agama” rata-rata berada dalam urutan prioritas. Hal itu tentunya menunjukkan bahwa ajaran agama berpengaruh besar terhadap keputusan pernikahan. Kriteria berikutnya adalah kesamaan suku, rasa sayang, bikin nyaman, dan faktor ekonomi.
“Tahukah Kamu Risiko Pernikahan Usia Dini?”
Secara hukum sebetulnya mereka sudah dibolehkan melangsungkan pernikahan. UU No 1 tahun 1947 tentang perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Namun demikian, mereka ogah menikah terlalu dini lantaran berbagai pertimbangan. Mereka tampaknya sudah mempunyai perencanaan yang matang sebelum “mengarungi” bahterah rumah tangga.
Hal itu tentunya sejalan dengan tujuan program Genre yang dicanangkan oleh BKKBN. Genre (Generasi Berencana) adalah program yang bertujuan mewujudkan tercapainya peningkatan kualitas remaja. Yang dimaksud dengan generasi berencanaadalah remaja/mahasiswa yang mampu melangsungkan jenjang-jenjang pendidikan secara terencana, berkarier dalam pekerjaan secara terencana, dan menikah dengan penuh perencanaan sesuai siklus Kesehatan Reproduksi. (“Materi Pegangan Kader Tentang Bimbingan dan Pembinaan Keluarga Remaja”, diakses dari situs bkkbn.go.id pada tanggal 24 Agustus 2016)
Selain itu, budaya Tana Toraja pun turut mendukung terjadinya pernikahan usia dini. Dalam masyarakat Toraja terdapat adat penikahan yang disebut “Parampo Kampung”. Parampo Kampung adalah serangkaian prosesi pengukuhan pria dan wanita sebagai suami-istri. Dalam adat pernikahan itu memang tidak disebutkan batasan umur masing-masing mempelai. Batasan yang diatur adalah sudah dewasa dan mampu memberi nafkah. Hanya itu. Jadi, walaupun masih di bawah 20 tahun, asalkan sudah mengikuti Parampo Kampung, laki-laki dan perempuan dinyatakan sudah menikah secara sah oleh masyarakat Toraja.
Pernikahan usia dini seperti itu tentunya memberi lebih banyak risiko daripada manfaat. Sebagai contoh, perempuan yang menikah muda berisiko mengalami masalah pada organ reproduksinya, terutama saat akan melahirkan anak. Berdasarkan data dari kementerian kesehatan, tercatat bahwa angka kematian ibu saat proses melahirkan masih tergolong tinggi. Pada tahun 2012 saja angka kematian tersebut mencapai 259 per 100.000 kelahiran hidup (http://depkes.go.id, diakses pada 2 Juli 2016). Angka tersebut sebetulnya turun dari tahun sebelumnya, tetapi tidak terlalu signifikan. Penyebab kematian tersebut pun beragam. Namun, penyebab utamanya adalah pendarahan yang terjadi pada proses persalinan.
Belum lagi muncul persoalan pendidikan lantaran remaja yang menikah pada usia dini cenderung drop out dari sekolah. Mereka lebih sibuk mencari nafkah atau mengurusi keluarga, alih-alih memilih melanjutkan pendidikan. Akibatnya, angka putus sekolah menjadi semakin tinggi. Sekadar informasi, di Provinsi DKI Jakarta saja, kasus anak putus sekolah masih terjadi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, pada tahun 2014, tercatat bahwa terdapat 197 kasus putus sekolah di tingkat SD, 431 di tingkat SMP, dan 1.332 di tingkat SMA/SMK (Sumber disdik.jakarta.go.id, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016). Kita tentu bisa membayangkan betapa tingginya angka putus sekolah di daerah lain.