Pada tanggal 24 Agustus 2016, iseng-iseng saya menghubungi beberapa murid saya lewat Line. Saya mengontak sekitar sebelas orang, yang terdiri dari enam perempuan dan lima laki-laki. Mereka adalah generasi yang lahir tahun 1997 dan 1998. Oleh sebab itu, sewaktu saya melakukan survei, mereka berusia sekitar 18 dan 19 tahun. Saya memang sedang melakukan riset kecil-kecilan untuk mengungkap pandangan mereka tentang usia ideal untuk menikah.
Saya menyiapkan tiga buah pertanyaan, yaitu (1) pada usia berapa mereka berencana menikah, (2) apa motivasi utama mereka menikah, dan (3) kriteria apa yang mereka pakai untuk memilih calon pasangan hidup. Sewaktu mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya memperoleh beberapa jawaban yang unik.
Mari kita mulai dengan pertanyaan pertama. Pada saat saya bertanya tentang target usia mereka untuk menikah, murid saya menjawab sebagai berikut. Umumnya siswi saya memberi jawaban umur 23-27 tahun, sementara yang siswa menjawab usia 27-30. Sebagai contoh, siswi saya yang berinisial A, 19 tahun, menuturkan mempunyai rencana menikah pada usia 27 tahun. Sebuah usia yang menurutnya ideal untuk membina rumah tangga. Lantas, saya menyelidiki apakah ia pernah mempunyai niat menikah pada umur 21? Dengan tertawa seolah saya sedang guyon, ia menjawab, “… kalau saya nikah umur 21, kemudaan….”
Jawaban serupa pun saya temukan pada siswa-siswi lainnya. Mereka umumnya memilih fokus berkuliah, meniti karier, mendapat kemapanan finansial terlebih dahulu, sebelum memutuskan berkeluarga. Saya menilai telah terjadi pergeseran mindset pada anak-anak zaman sekarang. Pola pikir mereka lebih terencana sehingga bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam menyambut masa depan yang penuh tantangan.
“Ketika Orangtuamu Dulunya Menikah Usia Dini….”
Hal itu tentunya berbeda sekali dengan paradigma berpikir generasi sebelumnya. Generasi sebelumnya umumnya memutuskan membangun keluarga sejak umur remaja. Kita bisa bertanya kepada opa-oma atau papa-mama kita pada usia berapa mereka menikah. Umumnya mereka akan menjawab umur 16-21 untuk yang perempuan, dan usia 18-25 untuk laki-laki.
Mengapa bisa terjadi perubahan paradigma demikian? Menurut hemat saya, terdapat dua faktor, yaitu pendidikan dan karier. Berbeda dengan generasi sebelumnya, anak-anak zaman sekarang mempunyai akses pendidikan yang luas. Sekolah mereka tak lagi “mentok” sampai SMP-SMA, tetapi bisa terus lanjut sampai jenjang sarjana.
Dalam karier pun terjadi demikian. Sekarang sudah tersedia beragam lapangan pekerjaan baru, terutama sejak terjadi peralihan dari periode industri ke digital. Jenis pekerjaan pun bertambah. Lima belas tahun yang lalu, orang belum mengenal bisnis online. Namun, sekarang kita sudah bisa mengakses beragam situs yang menawarkan sejumlah produk, seperti jual-beli barang, pemesanan tiket, dan pengiriman paket. Semua itu menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, sekaligus memperketat persaingan. Oleh sebab itu, alih-alih memikirkan persoalan berkeluarga, anak-anak muda zaman sekarang lebih berfokus meniti karier demi memenangkan persaingan tersebut.
“Kamu Menikah Karena…”
Pertanyaan kedua lebih bersifat psikologis. Saya mempertanyakan soal motivasi menikah. Umumnya mereka memberi jawaban yang variatif. Siswa-siswi saya memutuskan menikah lantaran (1) ingin mempunyai keturunan, (2) tidak ingin hidup sendiri, dan (3) mencintai pasangan.
Namun demikian, ada siswi saya yang mempunyai pandangan yang unik seputar motivasi menikah. Sebagai contoh, B, 19 tahun, menjelaskan, “Kalau menurutku menikah harus sama yang cocok bukan cuma aku cocok sama pasanganku, tapi dia juga harus cocok sama keluargaku begitu juga sebaliknya. Karena kan menikah itu bukan cuma mempersatukan dua orang, tapi dua keluarga….”
Uniknya, kriteria “satu agama” rata-rata berada dalam urutan prioritas. Hal itu tentunya menunjukkan bahwa ajaran agama berpengaruh besar terhadap keputusan pernikahan. Kriteria berikutnya adalah kesamaan suku, rasa sayang, bikin nyaman, dan faktor ekonomi.
“Tahukah Kamu Risiko Pernikahan Usia Dini?”
Secara hukum sebetulnya mereka sudah dibolehkan melangsungkan pernikahan. UU No 1 tahun 1947 tentang perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Namun demikian, mereka ogah menikah terlalu dini lantaran berbagai pertimbangan. Mereka tampaknya sudah mempunyai perencanaan yang matang sebelum “mengarungi” bahterah rumah tangga.
Hal itu tentunya sejalan dengan tujuan program Genre yang dicanangkan oleh BKKBN. Genre (Generasi Berencana) adalah program yang bertujuan mewujudkan tercapainya peningkatan kualitas remaja. Yang dimaksud dengan generasi berencanaadalah remaja/mahasiswa yang mampu melangsungkan jenjang-jenjang pendidikan secara terencana, berkarier dalam pekerjaan secara terencana, dan menikah dengan penuh perencanaan sesuai siklus Kesehatan Reproduksi. (“Materi Pegangan Kader Tentang Bimbingan dan Pembinaan Keluarga Remaja”, diakses dari situs bkkbn.go.id pada tanggal 24 Agustus 2016)
Selain itu, budaya Tana Toraja pun turut mendukung terjadinya pernikahan usia dini. Dalam masyarakat Toraja terdapat adat penikahan yang disebut “Parampo Kampung”. Parampo Kampung adalah serangkaian prosesi pengukuhan pria dan wanita sebagai suami-istri. Dalam adat pernikahan itu memang tidak disebutkan batasan umur masing-masing mempelai. Batasan yang diatur adalah sudah dewasa dan mampu memberi nafkah. Hanya itu. Jadi, walaupun masih di bawah 20 tahun, asalkan sudah mengikuti Parampo Kampung, laki-laki dan perempuan dinyatakan sudah menikah secara sah oleh masyarakat Toraja.
Pernikahan usia dini seperti itu tentunya memberi lebih banyak risiko daripada manfaat. Sebagai contoh, perempuan yang menikah muda berisiko mengalami masalah pada organ reproduksinya, terutama saat akan melahirkan anak. Berdasarkan data dari kementerian kesehatan, tercatat bahwa angka kematian ibu saat proses melahirkan masih tergolong tinggi. Pada tahun 2012 saja angka kematian tersebut mencapai 259 per 100.000 kelahiran hidup (http://depkes.go.id, diakses pada 2 Juli 2016). Angka tersebut sebetulnya turun dari tahun sebelumnya, tetapi tidak terlalu signifikan. Penyebab kematian tersebut pun beragam. Namun, penyebab utamanya adalah pendarahan yang terjadi pada proses persalinan.
Belum lagi muncul persoalan pendidikan lantaran remaja yang menikah pada usia dini cenderung drop out dari sekolah. Mereka lebih sibuk mencari nafkah atau mengurusi keluarga, alih-alih memilih melanjutkan pendidikan. Akibatnya, angka putus sekolah menjadi semakin tinggi. Sekadar informasi, di Provinsi DKI Jakarta saja, kasus anak putus sekolah masih terjadi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, pada tahun 2014, tercatat bahwa terdapat 197 kasus putus sekolah di tingkat SD, 431 di tingkat SMP, dan 1.332 di tingkat SMA/SMK (Sumber disdik.jakarta.go.id, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016). Kita tentu bisa membayangkan betapa tingginya angka putus sekolah di daerah lain.
“Ayo Sukseskan Program Genre!”
Oleh sebab itu, program Genre yang digagas oleh BKKBN dapat menjadi solusi atas persoalan tersebut. Lewat program tersebut, BKKBN tak hanya mengedukasi masyarakat tentang risiko pernikahan usia dini, tetapi juga menerangkan 8 fungsi keluarga, cara memelihara kebersihan diri, pencegahan penyakit seksual menular, cara berkomunikasi dengan orangtua, dan kecakapan hidup yang menjadi bekal dalam penghidupan. Semua itu dilakukan dengan harapan bahwa pada masa depan akan muncul generasi yang sehat, cerdas, dan kompetitif.
Facebook: www.facebook.com/adica.wirawan
Twitter : @AdicaWirawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H