Itu adalah faktor-faktor yang dapat menimbulkan radikalisme di masyarakat. Namun, semua itu belum memberi solusi dalam menangkal radikalisme, terutama di kalangan anak muda. Sebagai contoh, pemerintah mungkin sudah mengawasi dan menghapus sejumlah situs yang berpotensi membangkitkan kemarahan masyarakat lantaran kerap menampilkan konten bernapaskan SARA. Namun, tentunya akan timbul situs-situs baru yang bersuara serupa pada masa depan.
Bagaimana kalau pemerintah juga membatasi media sosial, seperti Facebook dan Twitter? Sepertinya sulit lantaran masyarakat indonesia sudah sedemikian gandrung memakai Facebook dan Twitter. Bagaimana kalau pemerintah juga sering melakukan seminar perbandingan agama? Seminar tersebut memang memperluas pemahaman kita, tetapi tidak menggerakkan hati kita. Persoalan radikalisme bukan melulu soal sempitnya pemikiran, melainkan juga minimnya empati.
Solusi atas permasalahan itu baru saya dapat pada hari ketiga seminar. Pada hari terakhir seminar, Bhante Dhammasubho membawakan materi seputar pluralisme dan toleransi. Satu poin yang saya catat pada pembicaraan tersebut adalah bakti sosial. Bakti sosial dapat menjadi solusi untuk mengatasi radikalisme di masyarakat. Dengan melakukan bakti sosial, kita menyisihkan semua perbedaan dan menyatu dalam aksi kemanusiaan. Bakti sosial menumbuhkan empati dalam diri kita karena kita belajar memaknai kehidupan lewat sudut pandang orang lain.
Kegiatan baksos itu diawali dengan menyurvei tempat beberapa minggu sebelumnya, melakukan sosialisasi di kalangan umat Wisma Vipassana Kusalacitta, dan mengumpulkan barang-barang donasi. Barang-barang yang sudah terkumpul, seperti pakaian, makanan, dan mainan, dipilah dan dipilih di ruang perpustakaan. Barang-barang tersebut selanjutnya disimpan di dalam kardus dan diberi label.
Kalau kegiatan bakti sosial rutin dilakukan terutama oleh kaum muda, faktor-faktor pemicu radikalisme, seperti kesehatan mental yang bermasalah, kesenjangan ekonomi yang lebar, iklim sosial-politik yang inkonsisten, dan pemahaman agama yang dangkal, dapat diminimalkan. Dengan demikian, akan tercipta masyarakat yang saling tolong-menolong tanpa mempermasalahkan SARA, sehingga kita dapat hidup seperti nenek moyang kita, yang mampu tetap rukun di tengah-tengah keberagaman.
Facebook: www.facebook.com/adica.wirawan
Twitter : @AdicaWirawan