Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cermat Mempersiapkan “Paspor” Kesuksesan Anak

10 Agustus 2016   07:36 Diperbarui: 11 Agustus 2016   09:01 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu baru di DKI Jakarta, belum di daerah-daerah lainnya. Apabila hal itu terus terjadi pada masa depan, sumber daya manusia yang dihasilkan akan rendah kualitasnya.

Kekuatan Anak Bangsa

Saya setuju dengan ungkapan “Generasi penerus adalah aset bangsa.” Sebagai sebuah aset, tentunya generasi tersebut harus dijaga, dirawat, dan dipelihara sebaik mungkin. Dengan demikian, generasi tersebut dapat berdaya saing dengan bangsa-bangsa lain.

Untuk mewujudkan hal itu, mutu pendidikan di Indonesia tentunya harus ditingkatkan. Walaupun sudah berganti kurikulum dan menteri pendidikan, sayangnya kita masih harus bekerja keras untuk mengatasi “ketertinggalan” dari bangsa lain. Selain itu, kita juga bisa belajar dari bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dahulu “maju” berkat pendidikan yang tepat.

Mari ambil contoh bangsa Jepang. Saya memang belum pernah pergi ke Jepang, tetapi saya selalu tertarik dengan pendidikan di Negeri Sakura itu. Saya sering merasa penasaran dengan pertanyaan, “Bagaimana ya sebuah bangsa yang kalah perang pada tahun 1945 dapat bangkit dan berkembang pesat dalam bidang teknologi, budaya, dan pendidikan, hanya dalam waktu beberapa puluh tahun saja?”

Saya membaca sebuah novel klasik berjudul Dua Belas Pasang Mata, karya Sakae Tsuboi. Novel itu menceritakan kisah perjuangan seorang ibu guru muda bernama Miss Oishi, yang mengajar di sebuah sekolah terpencil. Sekolah yang terletak di desa nelayan itu hanya melayani 12 orang siswa, dan ia menjadi satu dari dua guru yang mengajar di situ.

Novel Dua Belas Pasang Mata (Dokumentasi Pribadi)
Novel Dua Belas Pasang Mata (Dokumentasi Pribadi)
Novel yang berlatar waktu tahun 1930-an itu menuturkan haru-biru yang dialami Miss Oishi selama mengajar. Sebagai contoh, untuk mencapai sekolah, ia harus bersepeda sejauh 8 km. Belum lagi ia harus mengatur kedua belas muridnya yang nakalnya minta ampun. Sampai, ia harus berjuang melewati amukan perang dunia, yang memorak-porandakan Jepang dalam segala aspek.

Biarpun hanya sebuah karya fiksi, novel itu tetap mencerminkan kondisi pendidikan Jepang sebelum dan sesudah perang dunia. Novel yang mirip dengan “Laskar Pelangi” itu mengungkapkan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas hanya bisa dibangun dengan pendidikan.

Dari novel itu juga akhirnya saya mendapat jawaban bahwa bangsa Jepang bisa pulih dengan cepat pascakalah perang karena kegigihan guru-gurunya dalam mengajar dan tekad kuat murid-muridnya.

Oleh karena itu, dengan meniru bangsa Jepang, semangat untuk meningkatkan pendidikan harus dipelihara, seperti kata Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Anies Baswedan: “Dinding sekolah boleh reyot dan rapuh, tetapi semangat guru, siswa, dan orangtua tegak kokoh.”

Dengan memperoleh fasilitas pendidikan terbaik, anak-anak bangsa akan mempunyai kekuatan dalam menghadapi tantangan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun