Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

“Oleh-oleh” dari Malam Kembang

30 Juli 2016   10:29 Diperbarui: 30 Juli 2016   10:41 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menghadiri acara Malam Kembang mendiang tantenya teman saya pada Jumat malam di sebuah rumah duka di Bekasi. Saya datang sekitar pukul delapan. Rupanya pembacaan doa sudah dimulai. Jadi, sambil menunggu pembacaan doa selesai dilakukan, saya duduk mengobrol bersama teman-teman lainnya di pelataran rumah duka.

“Rumah dukanya cukup ramai ya?” kata saya kepada teman-teman. Memang pada malam itu tiga dari lima kamar di rumah duka itu telah diisi. Tamu-tamu yang hadir pun cukup banyak, sekitar tujuh puluh orang. Mayoritas berpakain serba hitam. Sama seperti kami, mereka pun duduk menunggu di pelataran kamar duka masing-masing.

Dua puluh menit kemudian teman saya yang tantenya meninggal itu keluar dari kamar duka. Pembacaan doa sudah usai. Saya bangkit dari tempat duduk, lalu menyalaminya. “Turut berdukacita ya,” kata saya sambil menjabat tangannya. “Terima kasih,” jawabnya.

Ia kemudian mengambilkan saya sekotak nasi uduk. Sambil menyantap makanan itu, kami duduk bersebelahan di kursi dan mengobrol ringan. “Meninggalnya karena sakit ya?” Tanya saya perihal kematian tantenya.

Teman saya menjawab, “Iya, kena kanker payudara.”

Berdasarkan ceritanya, tantenya sudah mengidap kanker itu selama dua tahun. Pengobatan pun telah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit itu, termasuk menjalani kemoterapi. “Sewaktu menjalani kemo, makanan yang dimakan dimuntahkan lagi,” katanya dengan suara lirih.

Tantenya menjalani proses kemoterapi dua kali. Namun, itu tidak kunjung menyembuhkan kanker tersebut. Akhirnya, teman saya dan keluarganya harus mengikhlaskan kepergian tantenya.

Malam Kembang

Walaupun datang agak terlambat, saya mengamati bahwa acara Malam Kembang untuk mendiang tantenya teman saya berlangsung dengan hikmat. Beberapa umat wihara dan seluruh anggota keluarga memanjatkan doa bersama-sama demi kedamaian mendiang. Sambil duduk-duduk, saya mendengar suara alunan doa yang syahdu.

Dalam tradisi Tionghoa, acara Malam Kembang seperti itu sering juga disebut mi song atau mai song. Malam Kembang adalah malam terakhir sebelum mendiang disemayamkan atau dikremasi.

Malam Kembang dapat dilangsungkan dalam waktu yang singkat atau lama, bergantung pada status mendiang. Mendiang yang belum berkeluarga biasanya menjalani upacara Malam Kembang sehari semalam. Sementara itu, bagi yang sudah berkeluarga, Malam Kembang minimal dilakukan selama dua hari sampai seminggu.

Saya berpikir, “Mengapa ya bisa terjadi perbedaan demikian?” Sampai sekarang jawaban yang saya peroleh hanya sekadar asumsi. Saya berpikiran, “Mungkin saja orang yang sudah berkeluarga mempunyai banyak sanak saudara yang tinggal berjauhan.”

Nah, saat orang tersebut meninggal dunia, sanak saudaranya harus menempuh perjalanan yang menguras banyak waktu. Oleh sebab itu, sebelum dikebumikan, mendiang tetap disemayamkan di rumah duka sampai sanak saudaranya datang melihatnya untuk terakhir kali. Semakin banyak sanak saudara yang belum tiba, biasanya semakin lama almarhum ditempatkan di rumah duka itu.

Semua asumsi itu berpijak pada proses pemakaman mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew. Saat berpulang, beliau disemayamkan di rumah duka sampai seminggu lantaran ada banyak orang yang ingin datang melayat.

Orang-orang itu tak hanya anggota keluarga dan koleganya di pemerintahan, tetapi juga ribuan rakyat Singapura yang ingin melihat beliau sebelum dimakamkan. Bahkan, saking banyaknya warga yang ingin melayat, terjadi antrean yang panjang di pintu masuk rumah duka.

Walaupun asumsi itu terdengar masuk akal, kita tetap harus berpikir kritis. Kita harus menelusuri sumber-sumber tertentu, yang bisa dipercaya keakuratannya, seperti catatan sejarah. Namun, sayangnya, berdasarkan pengamatan saya, belum ada catatan sejarah yang otentik terkait pelaksanaan Malam Kembang itu.

Hikmah Malam Kembang

Walaupun demikian, kita dapat memetik sebuah pelajaran penting sewaktu datang ke rumah duka kerabat kita. Sewaktu pergi melayat, kita tak hanya menyampaikan ungkapan bela sungkawa, atau mendoakan mendiang, atau mengenang jasa-jasa almarhum, tetapi kita juga memetik sebuah hikmah. Hikmah tersebut sangat penting, tetapi jarang sekali kita meresapinya di dalam hati.

Apakah hikmah itu? C. Joybell memberi jawaban yang bagus atas pertanyaan tersebut. Dengan bijaksana ia berkata, “Kita belajar tentang hal-hal terpenting dalam hidup kita, ketika kita mengalami kehilangan yang disebut kematian.”

Betul sekali! Hikmah itu adalah sebuah perasaan syukur atas hidup kita. Lewat kalimat sederhana itu, secara tersirat, Joybell mengajak kita mensyukuri hidup ini sebelum kematian datang.

Namun demikian, tidak semua orang merasa nyaman membicarakan atau merenungi kematian. Dalam masyarakat Tionghoa, topik seputar kematian bahkan dianggap tabu lantaran dipercaya dapat mendatangkan kesialan. Oleh sebab itu, pada saat seseorang membicarakan soal kematian, mitra bicaranya biasanya akan mengalihkan topik atau menolak membicarakannya dengan berbagai alasan.

Hal berbeda justru dilakukan oleh masyarakat Bhutan. Jangankan membicarakan, mereka bahkan merenungi kematian minimal lima kali sehari! Itu sudah menjadi kebiasaan yang sudah dilangsungkan selama bertahun-tahun.

Namun demikian, Anda mungkin bertanya, “Bukankah kalau kita membicarakan soal kematian, kita justru semakin takut?” Bagi sebagian orang, topik seputar kematian memang dapat membangkitkan perasaan takut. Perasaan itu muncul mungkin saja karena terdapat trauma pada masa lalu, seperti kematian tragis orang terkasih.

Namun, perasaan yang muncul sewaktu orang Bhutan melakukan perenungan itu justru lain. Dengan rutin merenungi kematian, mereka mengaku lebih bersyukur menjalani hidup. Mereka merasa hidup mereka lebih bahagia dan berharga.

Oleh sebab itu, sewaktu pamit pulang, dalam perjalanan, saya merasa mendapat “oleh-oleh” dari Malam Kembang itu. “Oleh-oleh” itu adalah sebuah hikmah bahwa saya masih bernapas sampai saat ini. Sebuah “oleh-oleh” yang membuat saya lebih bersyukur dan tentunya lebih bahagia. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun