Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

“Oleh-oleh” dari Malam Kembang

30 Juli 2016   10:29 Diperbarui: 30 Juli 2016   10:41 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya berpikir, “Mengapa ya bisa terjadi perbedaan demikian?” Sampai sekarang jawaban yang saya peroleh hanya sekadar asumsi. Saya berpikiran, “Mungkin saja orang yang sudah berkeluarga mempunyai banyak sanak saudara yang tinggal berjauhan.”

Nah, saat orang tersebut meninggal dunia, sanak saudaranya harus menempuh perjalanan yang menguras banyak waktu. Oleh sebab itu, sebelum dikebumikan, mendiang tetap disemayamkan di rumah duka sampai sanak saudaranya datang melihatnya untuk terakhir kali. Semakin banyak sanak saudara yang belum tiba, biasanya semakin lama almarhum ditempatkan di rumah duka itu.

Semua asumsi itu berpijak pada proses pemakaman mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew. Saat berpulang, beliau disemayamkan di rumah duka sampai seminggu lantaran ada banyak orang yang ingin datang melayat.

Orang-orang itu tak hanya anggota keluarga dan koleganya di pemerintahan, tetapi juga ribuan rakyat Singapura yang ingin melihat beliau sebelum dimakamkan. Bahkan, saking banyaknya warga yang ingin melayat, terjadi antrean yang panjang di pintu masuk rumah duka.

Walaupun asumsi itu terdengar masuk akal, kita tetap harus berpikir kritis. Kita harus menelusuri sumber-sumber tertentu, yang bisa dipercaya keakuratannya, seperti catatan sejarah. Namun, sayangnya, berdasarkan pengamatan saya, belum ada catatan sejarah yang otentik terkait pelaksanaan Malam Kembang itu.

Hikmah Malam Kembang

Walaupun demikian, kita dapat memetik sebuah pelajaran penting sewaktu datang ke rumah duka kerabat kita. Sewaktu pergi melayat, kita tak hanya menyampaikan ungkapan bela sungkawa, atau mendoakan mendiang, atau mengenang jasa-jasa almarhum, tetapi kita juga memetik sebuah hikmah. Hikmah tersebut sangat penting, tetapi jarang sekali kita meresapinya di dalam hati.

Apakah hikmah itu? C. Joybell memberi jawaban yang bagus atas pertanyaan tersebut. Dengan bijaksana ia berkata, “Kita belajar tentang hal-hal terpenting dalam hidup kita, ketika kita mengalami kehilangan yang disebut kematian.”

Betul sekali! Hikmah itu adalah sebuah perasaan syukur atas hidup kita. Lewat kalimat sederhana itu, secara tersirat, Joybell mengajak kita mensyukuri hidup ini sebelum kematian datang.

Namun demikian, tidak semua orang merasa nyaman membicarakan atau merenungi kematian. Dalam masyarakat Tionghoa, topik seputar kematian bahkan dianggap tabu lantaran dipercaya dapat mendatangkan kesialan. Oleh sebab itu, pada saat seseorang membicarakan soal kematian, mitra bicaranya biasanya akan mengalihkan topik atau menolak membicarakannya dengan berbagai alasan.

Hal berbeda justru dilakukan oleh masyarakat Bhutan. Jangankan membicarakan, mereka bahkan merenungi kematian minimal lima kali sehari! Itu sudah menjadi kebiasaan yang sudah dilangsungkan selama bertahun-tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun