Kehadiran orangtua pada hari pertama sekolah dapat dipandang sebagai wujud cinta orangtua terhadap anak. Dalam buku Five Love Languages, Garry Chapman menjelaskan bahwa waktu yang disisihkan orangtua di tengah kesibukannya bekerja memberi makna lebih banyak terhadap anak. Waktu tersebut jelas berkualitas karena mampu mendekatkan orangtua dan anaknya secara fisik dan emosi. Anak akan mempunyai kepercayaan diri yang kuat karena merasa ada orangtua yang mendukungnya.
Kehadiran Pengasuh Utama
Untuk membantu anak menyesuaikan diri dalam lingkungan barunya, pengasuh utama harus hadir mendampingi anak. Dalam buku Psikologi edisi 9, Carole Wade dan Carol Tavris menjelaskan bahwa pengasuh utama biasanya adalah ibu kandung anak tersebut.
Seorang anak umumnya mempunyai kelekatan emosi yang kuat terhadap ibunya. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa seorang anak akan merasa jengkel, marah, atau sedih kalau berpisah jauh dari ibunya atau ibunya lebih memerhatikan hal lain selain dirinya. (Informasi tersebut saya uraikan lebih detail dalam tulisan saya yang berjudul Merengek Minta Pulang)
Namun demikian, bukan berarti bahwa harus ibu yang datang menemani anaknya ke sekolah pada hari pertama. Sosok ayah pun harus dipertimbangkan. Ayah boleh (bahkan dianjurkan) mengantar anaknya ke sekolah kalau situasi memungkinkan. Kehadiran sosok ayah akan menjalin ikatan emosi yang berimbang dalam diri anak.
Kerja Sama dengan Pihak Sekolah
Supaya anak merasa betah di lingkungan barunya, orangtua harus menjalin komunikasi dengan pihak sekolah, terutama wali kelas. Orangtua harus menyampaikan sejumlah informasi seperti riwayat kesehatan atau perilaku khusus anaknya. Dengan demikian, wali kelas dapat mengambil tindakan yang tepat kalau terjadi apa-apa dengan anak tersebut. Â
Sebagai contoh, pernah saya menjumpai siswa yang mengidap leukimia di kelas. Sudah beberapa tahun, siswa tersebut terkena leukimia. Namun, dengan sejumlah pertimbangan, ia enggan menceritakan soal penyakitnya kepada teman sekelasnya. Hanya keluarga dan sahabat terdekat yang mengetahuinya. Oleh sebab itu, di kelas, tidak satu pun siswa dan guru mengetahui soal penyakit itu.
Nah, saat tiba gilirannya maju, siswa yang mengidap leukimia itu memilih menceritakan pengalamannya sewaktu menjalani proses penyembuhan. Ia menuturkan betapa orangtuanya tetap tabah dalam menghadapi cobaan tersebut. Ia juga mengisahkan betapa besarnya dukungan yang diberikan papa-mamanya, seperti mengeluarkan banyak uang untuk berobat dan tetap menyayanginya sebagai ia adanya. Saat selesai, tak hanya dirinya, beberapa temannya pun menangis.
Saya bertanya kepadanya apakah wali kelasnya sudah mengetahui penyakitnya. Ia berkata tidak. Bahkan ia meminta saya supaya tidak menceritakan penyakitnya. Namun, saya menolak permintaan itu. Saya berkata bahwa wali kelas harus tahu soal itu sebab itu sudah menjadi tanggung jawab yang diemban sekolah.