Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Empati dalam Edukasi Seks di Sekolah

12 Juli 2016   08:48 Diperbarui: 12 Juli 2016   09:07 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan pemaparan tersebut, tentunya kita perlu mempertimbangkan pengajaran empati dalam upaya mengatasi kasus kekerasan seksual tersebut. Oleh sebab itu, pengajaran empati tentunya harus disertakan terutama pada edukasi seks di sekolah-sekolah.

Walaupun seks adalah sebuah topik yang masih dianggap tabu dibicarakan, sejumlah sekolah kini sudah berani memfasilitasi edukasi seks kepada murid-muridnya. Sekolah umumnya menghadirkan narasumber yang berasal dari dunia medis untuk menyampaikan edukasi tersebut. Dengan demikian, edukasi seks yang dilakukan selama ini pun lebih menitikberatkan pada aspek fisik semata.

Siswa hanya diberi penjelasan tentang kinerja sistem reproduksi dan berbagai macam jenis penyakit kelamin yang menular. Jarang sekali siswa mendapat informasi tentang metode teruji untuk mengelola energi seksual secara tepat dan menumbuhkan empati terhadap sesama dari narasumber yang didatangkan. Padahal, informasi tersebut sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual yang baru. Oleh sebab itu, edukasi seks berbasis empati perlu diselenggarakan di sekolah.

Edukasi tersebut dapat diawali dengan melatih kesadaran diri. Kesadaran diri adalah kepekaan terhadap setiap perasaan yang muncul. Saat mempunyai kesadaran diri yang kuat, kita mampu memonitor perasaan dari waktu ke waktu. Saat energi seksual muncul, misalnya, kita mampu menyadarinya sehingga kita bisa memilih respon untuk melepas emosi tersebut secara tepat.

Ada beragam cara untuk melepas emosi tersebut secara lebih baik. Salah satunya adalah menulis ekspresif. Minggu lalu saya mengikuti sebuah kelas tentang pengelolaan emosi. Di kelas tersebut, saya tak hanya belajar tentang seluk-beluk emosi dan dampaknya bagi kehidupan, tetapi juga melepas emosi negatif secara lebih bijaksana.

www.welldoing.org
www.welldoing.org
Pada akhir sesi pemaparan, instruktur membagikan kertas dan meminta para peserta untuk menumpahkan emosi negatif terhadap orangtua masing-masing. Peserta diminta menceritakan pengalaman pahit yang dialami sewaktu masih kecil. Peserta diminta mencurahkan emosi seperti kekecewaan, kemarahan, dan kekhawatiran terhadap orangtua dalam bentuk tulisan.

Dengan diiringi musik relaksasi, peserta mulai menulis. Di tengah sesi, mayoritas peserta mulai terisak. Kegiatan tersebut tampaknya sudah membetot emosi negatif yang terpendam di pikiran bawah sadar. Setelah selesai, instruktur meminta komentar, dan sebagian besar mengaku merasa lebih lega usai mencurahkan perasaannya lewat tulisan.

Edukasi seks berbasis empati di sekolah adalah sebuah langkah tepat untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual pada masa depan. Empati yang kokoh akan mampu menetralisir antipati yang muncul sehingga seseorang dapat mengendalikan dirinya lebih baik. Oleh sebab itu, sudah seharusnya diadakan sosialisasi edukasi seks berbasis empati supaya kasus Y tidak terulang pada masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun