Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Rumah untuk J (2)

27 Juli 2016   08:48 Diperbarui: 27 Juli 2016   09:58 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Cerita sebelumnyaRumah untuk J (1)]

Sebut saja aku J. Aku tinggal di blok C sel nomor 11. Di dalam sel tersebut aku tinggal bersama tiga orang. Mereka adalah B, K, dan P. Walaupun kami mempunyai latar kehidupan yang berbeda, kami mempunyai sebuah kesamaan; kami pernah menjadi kurir narkoba.

Kasus kami pun hampir serupa. B adalah seorang TKI di sebuah negeri yang sangat jauh. Ia bekerja di tempat tersebut selama hampir tiga tahun, tetapi pekerjaannya tidak memberi hasil yang memuaskan. Pada suatu hari, ia ditawari pekerjaan menjadi kurir, dan akan diupah besar kalau berhasil mengirim paket tersebut ke lokasi yang dituju.

Kasus B hampir sama sepertiku, hanya saja ia melakukan hal yang lebih nekad; ia menyembunyikan narkoba di dalam perutnya! Kau tentunya bisa membayangkan betapa sakitnya saat perutmu disayat oleh pisau bedah, lalu sebungkus kecil mariyuana disimpan di dalam perutmu, lalu perutmu kembali dijahit, dan itulah yang dialami oleh B.

Namun, tetap saja petugas berhasil mengetahui aksinya, meringkusnya, lalu mengintrogasinya. Akibat perbuatannya, B divonis 25 tahun penjara karena ia dikenakan pasal berlapis. Ia terlibat sindikat perdagangan narkoba internasioanal.

Sementara itu, K dan P sudah saling mengenal sebelumnya karena mereka bergabung dalam organisasi yang sama. Mereka adalah pengedar narkoba yang bertugas mendistribusikan narkoba di wilayah barat kota. Mereka menawari narkoba pada pasar tertentu: pelanggan diskotek, anak sekolah, dan birokrat.

Mereka berhasil ditangkap dalam sebuah operasi yang dilaksanakan polisi setempat. Polisi rupanya sudah menyelidiki jaringan mereka, lalu menggerebek markas mereka di sebuah gudang, dan menyita satu kilogram heroin, yang sudah siap diedarkan. Mereka kemudian disidang secara terpisah, tetapi mendapat vonis yang sama: 15 tahun penjara!

www.antaranews.com
www.antaranews.com
Pada awalnya aku merasa risi berada satu sel bersama mereka. Betapa tidak! Dari tampang mereka saja, kita sudah bisa menilai siapa mereka sebenarnya. K dan P mempunyai tato pada tubuhnya, tetapi kini tato tersebut sudah pudar. Di telinga dan hidung mereka pun terdapat bekas tindikan. Kulit mereka gelap, gigi mereka runcing, dan tatapan mereka terlihat menyembunyikan kebuasan.

B terlihat lebih bersih, terlihat seperti orang baik-baik. Tidak ada tato pada tubuhnya. Namun, bibirnya tampak gelap. Sudah dapat ditebak kalau dia sudah menjadi pecandu rokok sekian tahun. Nikotin sudah menggelapkan kulit dan bibirnya.

Namun, setelah berbicara dengan mereka, aku jadi mulai akrab. Tampaknya keakraban tersebut terjalin karena kami mempunyai nasib yang hampir sama. Kami terjebak di tempat yang sama. Kami mempunyai kisah yang hampir sama. Kami pun harus menanggung penderitaan yang sama. Kesamaan itu menjadi sebuah benang merah yang menyatukan kami.

Pandanganku terhadap situasi lapas mulai berubah. Awalnya aku membayangkan betapa buruknya kondisi sel penjara: dingin, sepi, dan pengap. Namun, aku baru menyadari bahwa lapas lebih mirip seperti kos-kosan. Sel tempat kami berempat tinggal berukur 3x4 m, beranjang susun, dicat berwarna biru laut, tampak bersih walaupun toilet terletak di dalam sel masing-masing. Hanya saja, pintu sel bukan terbuat dari kayu, melainkan terbikin dari jeruji besi, sehingga siapapun bisa melongok apa yang sedang dikerjakan penghuninya.

Alih-alih menghabiskan masa tahan kami dengan hanya tidur-tiduran di sel, kami melakukan pelbagai kegiatan di lapas. Kami belajar bercocok tanam di halaman belakang lapas. Ada tanah seluas 4000 meter2 yang memang dijadikan sebagai lahan untuk menanam beberapa sayuran.

Kami pun menanam sayuran, seperti wortel, sawi, dan bawang, dan memelihara sayuran tersebut sampai masa panen. Atas kemurahan hati sebuah perusahaan, hasil panen tersebut kemudian distok dan dijual ke pasar. Hasil penjualan tersebut kemudian dibagi-bagi kepada pengelola kebun. Namun, alih-alih membagi uang secara langsung, hasil penjualan disetorkan ke rekening para pengelola masing-masing karena memang ada peraturan kalau pada napi dilarang menerima uang tunai.

www.cnnindonesia.com
www.cnnindonesia.com
Di lapas tersebut juga disediakan fasilitas perpustakaan, dan pada waktu senggang, aku mengunjungi perpustakaan tersebut. Aku tidak suka membaca, tetapi sejak di lapas itu, aku jadi menyukainya. Aku membaca buku-buku agama. Aku mulai tertarik mendalami agama. Aku belajar mengenal Tuhan di lapas. Menurut hamatku, Tuhan terasa lebih dekat sewaktu aku berada dalam tahanan.

Setiap bulan keluarga dibolehkan datang berkunjung. Itu adalah momen yang paling ditunggu-tunggu para napi. Itu adalah kesempatan berharga karena mereka mempunyai waktu untuk melepas kangen. Namun, semua itu tidak berlaku untukku. Keluargaku tidak pernah datang setiap bulan lantaran pertemuan kami dibatasi oleh jarak dan biaya.

Keluargaku hanya berkunjung menjelang lebaran. Aku ingat kunjungan pertama keluargaku berlangsung mengharukan. Ibuku tercinta datang ditemani abangku. Selama ini, yang mengurus semua persoalanku adalah abangku, dan aku merasa berhutang budi padanya karena sudah mau berbaik hati padaku. Ibuku segera memelukku, menumpahkan semua air matanya di baju tahananku. Kami memang tidak berbicara sepatah kata pun dalam keharuan tersebut, tetapi tangisan kami telah berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

www.jogja.tribunnews.com
www.jogja.tribunnews.com
Walaupun masa tahananku sepuluh tahun, aku hanya menjalaninya selama delapan tahun karena itu sudah dipotong oleh remisi lebaran dan hari raya lainnya. Lagipula, aku telah bersikap sopan di depan teman-teman satu sel dan para sipir lapas sehingga aku mendapat lebih banyak remisi. Namun, begitu sipir memberitahuku bahwa aku akan dibebaskan bulan depan, aku merasa bimbang. Aku gelisah. Aku galau memikirkan masa depanku.

Perasaan tersebut semakin kuat beberapa hari sebelum aku menghidup udara bebas. Aku tidur-tiduran di kasurku, memandangi langit-langit sel yang bersawang, dan melihat cicak yang merayap di dinding. Mungkin hanya cicak itu yang bisa memahami perasaanku karena hewan adalah makhluk yang paling jujur dan peka terhadap emosi makhluk di sekitarnya.

Aku menyalami B, K, dan P. Sedih memang, tetapi aku harus berpisah dengan mereka. Aku menatapi wajah mereka karena mungkin saja aku tidak akan pernah melihat wajah mereka lagi. Sipir membawaku ke pintu gerbang. Aku pun menyalaminya dan mengucapkan selamat tinggal.

Kini aku mempunyai satu tujuan: pulang. Aku mau bertemu dengan kelurgaku. Jadi, dengan uang hasil kerjaku selama di lapas, aku membeli tiket bis. Bis yang kutumpangi membawaku menelusuri jalan yang dulu pernah kulalui.

Keluargaku menyambutku dengan ledakan tangis bahagia. Ibuku, abangku, dan adik-adikku memeluk dan menangis bersamaku. Anggota keluarga yang dulu pergi mengembara kini telah kembali ke rumahnya.

Aku telah melewatkan banyak momen selama aku berada di lapas. Abangku sudah menikah dengan seorang gadis kampung, dan istrinya kini sedang mengandung. Adik-adikku sudah berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang SMP, dan kini sebagian sudah bekerja di sebuah pabrik yang baru dibangun.

Aku pun memulai hariku yang baru sebagai manusia yang merdeka. Namun, semua itu ternyata tidak berlangsung sesuai harapan. Aku mengajukan lamaran pekerjaan, tetapi ternyata semuanya menolakku. Teman-teman yang dulu yang sangat akrab denganku kini pun menjauhiku. Setiap aku lewat di depan rumah tetangga, para tetangga selalu menatapku dengan mata yang penuh curiga. Ibu-ibu sering menggunjingkan kehadiranku. Mereka menjauhkan anak-anaknya dariku. Padahal, aku tidak mempunyai niat jahat sedikit pun. Akhirnya beginilah aku: mantan narapidana, penganggur, dan terisolasi dari pergaulan.

www.bisnis.liputan6.com
www.bisnis.liputan6.com
Lebih parah lagi keluargaku mulai terpengaruh. Istri abangku sudah menunjukkan ketidaksenangannya atas kehadiranku. Bahkan, ia menolak makan satu meja denganku. Namun demikian, abangku membelaku. Ia mencoba meyakinkan istrinya bahwa aku sudah berubah. Namun, prasangka itu seperti virus, yang akan terus menyebar dan menciptakan lebih banyak rasa sakit. Abangku bertengkar hebat dengan istrinya, dan istrinya mengancam akan tinggal bersama orangtuanya kalau aku masih berada di situ.

Aku memahami situasi abangku. Tentu sangat berat kalau kita harus memilih satu di antara dua orang yang kita sayang. Jadi, aku menemui abangku dan berbicara serius dengannya.

“Aku akan pergi,” kataku padanya dan ia tampak kaget.

“Aku bisa menyelesaikan masalah ini,” katanya. “Aku tidak sanggup melihat ibu menderita lagi. Tahukah kau bahwa ibu terus bersedih sewaktu mengetahui kalau kau ditahan dulu? Tinggallah di sini. Jangan biarkan ibu bersedih seperti dulu. Aku akan mencari jalan keluar.”

Mataku mulai berair seperti butiran embun yang hampir menitik di sela daun. “Namun, bukan hanya istrimu, tetangga kita pun tidak lagi mengharapkan kehadiranku,” kataku gemetar dalam kesedihan. “Bagi mereka, kehadiranku adalah sebuah aib.”

Abangku tiba-tiba saja menjabat tanganku. “Semua masalah pasti ada jalan keluarnya,” katanya seraya bangkit meninggalkanku.

Namun, aku tidak bisa menuruti nasihat abangku. Aku menulis surat perpisahan untuk keluargaku. Lalu, pada malam harinya aku pergi meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan siapapun ketika kampung sedang tenggalam dalam tidur dan sunyi.

Dengan langkah berat aku pergi dari rumah.

www.greatplacetowork.net
www.greatplacetowork.net
Aku naik sebuah bis malam, yang membawaku entah ke mana. Aku tidak peduli. Aku duduk di pojok, sambil memandangi jendela, yang tengah basah terkena gerimis. Suara tangisku terbenam dalam suara rintik hujan. Sampai pada titik itu, aku menyadari bahwa penjara sesungguhnya ternyata bukanlah sel di balik tembok lapas. Ada penjara lain yang jauh lebih kasat mata, jauh lebih dingin, jauh lebih kejam dan penjara itu adalah prasangka.

Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC.

rumphiestheclub-579811d06123bd97098cc39d.jpeg
rumphiestheclub-579811d06123bd97098cc39d.jpeg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun