Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Rumah untuk J (1)

27 Juli 2016   07:27 Diperbarui: 27 Juli 2016   09:15 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku kerja serabutan. Aku sempat menjadi tukang bangunan. Aku sempat menjadi penjual sayur. Aku sempat menjadi buruh tani. Semua pekerjaan itu dilakukan selama setahun, dan aku merasa semua jerih payahku menguap begitu saja, karena satu-satunya yang kunikmati adalah rasa capai yang berkepanjangan.

Akhirnya aku bilang kepada abangku bahwa aku akan pergi merantau. Aku mau mengubah nasib. Setelah aku sungkem di hadapan ibu dan mengutarakan maksudku, ibu memberiku restu dengan membelai rambutku yang kasar dan berbau prengus. Dengan berurai air mata, ibu melepasku pergi dari beranda rumah, dan dari situ aku memahami betul-betul peribahasa kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang masa.

Walaupun takut oleh bayang-bayang masa depan yang penuh ketidakpastian, aku terus mendorong diriku maju. Aku telah memaksa diri sehingga aku tak bisa berpaling lagi. Tanpa ijazah di tangan, dengan hanya berbekal doa, aku berangkat menuju kota naik sebuah kereta barang.

Sesampainya di kota aku hidup menggelandang tanpa arah tanpa tujuan. Di kota aku berkerja apapun asal bisa tetap makan dan bisa membayar uang kos tempat aku tinggal. Jadi, aku pernah menjalani hari-hariku sebagai kernet metromini yang sopirnya ugal-ugalan. Metromini yang aku kerneti dikemudikan oleh sopir cabutan. Walau tidak mempunyai SIM, asal bisa nyetir, sopir itu pasti dibolehkan mencari penumpang.

www.bintang.com
www.bintang.com
Sebagai kernet, jam kerjaku sangat panjang, bisa lebih dari 18 jam sehari. Aku berangkat subuh dan pulang larut, dan pekerjaan itu aku tekuni beberapa bulan saja. Aku kemudian berhenti menjadi kernet setelah melihat kecelakaan maut antara metromini dan kereta api yang terjadi di sebelah utara kota. Sebuah metromini menerobos palang pintu perlintasan kereta api, sempat mogok saat di tengah rel, lalu dihantam keras oleh kereta api yang lewat hingga terseret beberapa ratus meter.

Aku menyaksikan tayangan berita kecelakaan itu di sebuah warung kopi dan aku sempat terkejut. “Hei, bukankah itu metromini yang biasanya aku kerneti?” Aku membatin, sekaligus merinding membayangkan bagaimana kalau aku yang mengalami peristiwa itu. Namun, untungnya aku bolos kerja waktu itu lantaran tubuhku sedang meriang. Jadi, aku lolos dari maut dan aku bersyukur bisa selamat dari peristiwa maut itu.

Selanjutnya aku belajar mengemudikan truk. Setelah tiga bulan ikut teman, aku pun bekerja sebagai sopir truk ekspedisi. Pekerjaan itu jauh lebih aman karena nyawaku bukan berada di tangan orang lain lagi, dan upah yang kuperoleh pun jauh lebih besar daripada sebelumnya. Aku terbiasa menyetir semalaman, melintasi pulau, dan mengatar barang ke pelabuhan. Namun, pekerjaan itu pun hanya berlangsung dua tahun.

Oleh karena sering mengamati aktivitas di pelabuhan, aku memutuskan bekerja sebagai kuli angkut pelabuhan. Memang itu adalah pekerjaan kasar, tetapi upahnya lebih besar daripada sebelumnya, dan juga tubuhku jarang sakit, tidak seperti dulu sewaktu aku masih menjadi sopir truk, yang harus bekerja sepanjang malam, sehingga membikin daya tahan tubuh menurun.

Namun demikian, aku masih harus mencari lebih banyak uang untuk menyokong keluargaku di kampung. Setiap dua bulan aku mengirim lima juta rupiah ke kampung untuk keperluan keluargaku. Tidak lama kemudian aku didatangi oleh seorang laki-laki, yang kita sebut saja S. S menawariku pekerjaan mudah dengan upah berlimpah. Aku akan mendapat uang 25 juta kalau aku bisa mengirimkan barang ke lokasi yang sudah ditentukan olehnya. Ketika aku mendengar nominal tersebut, tubuhku bergetar. “Dua puluh lima juta hanya untuk mengantar barang! Siapa yang mau melewatkan kesempatan tersebut?!” Aku membatin.

Namun, pada waktu itu, aku masih terlalu naif. Jadi, aku menerima pekerjaan itu tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin aku dapat. Dua minggu kemudian aku mendapat tugas mengirim paket ke pulau lain. Namun, S memintaku memilih jalur lain.

Aku pun pergi mengantar paket tersebut dengan menumpang truk ekspedisi temanku. Aku menyeberangi lautan bukan lewat pelabuhan, melainkan lewat dermaga bayangan, dan dari situ, aku menaiki sebuah perahu tongkang yang sudah reot. Selanjutnya aku melanjutkan perjalanan menembus perbatasan kota lewat jalur lain sesuai arahan dari S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun