Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Makan dan Belanja di Kota Wisata Bukittinggi Kini Tidak Nyaman Lagi

5 April 2016   14:02 Diperbarui: 20 Desember 2016   14:33 42809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: travel.kompas.com"][/caption]Masih saja ada wisatawan yang berkunjung ke Kota Wisata Bukittinggi yang ngomel-ngomel ulah dipermainkan pebisnis. Tersebutlah, salah seorang pelancong dari Riau bernama Rian, ‘dipermainkan’ di seputaran Los Lambuang saat makan siang baru-baru ini.

Wartawan KORAN PADANG, media mungil yang cukup laris di Sumatra Barat terbitan Selasa, 5 April 2016, mengangkat 'penderitaan' pelancong dari luar daerah setelah menikmati makan siang di Los Lambuang tersebut. Tidak disangka, Rian asal Riau itu 'dipermainkan' pemilik warung makan dengan tagihan selangit hingga Rp 600 ribu untuk tiga porsi dengan satu lauk ditambah tiga teh botol.

Meski sempat terjadi dialog antara Rian dengan pemilik tempat makan tersebut, namun dengan berat hati dan merasa terpaksa akhirnya Rian membayar juga.

Menurut Rian, seperti diberitakan KORAN PADANG, harga yang diberlakukan pedagang tersebut adalah biaya makan termahal di dunia. Dia pun berjanji tidak akan pernah makan lagi di Bukittinggi.

Mahalnya tarif makan di Bukittinggi tidak saja dialami para pengunjung dari luar kota. Salah seorang pimpinan daerah setempat juga pernah mengalami hal yang sama meski namanya tidak bersedia dituliskan. Yang jelas, berbelanja termasuk makan di kota wisata itu sejak beberapa waktu terakhir ini memang tidak nyaman lagi. Harga makanan dan barang yang dibeli seenak hati pedagang saja menetapkannya.

Bahkan, rombongan Presiden SBY dulunya ketika berkunjung ke Bukittinggi juga pernah merasakan hal serupa dengan tagihan bill pembayaran luar biasa jumlahnya. Disebut-sebut, SBY dan rombongan harus membayar Rp 20 juta rupiah saat makan di Bukittinggi.

Mereka yang berjualan, baik makanan, pakaian, kuliner, dan lainnya, rata-rata terbilang ramah mempersilakan tamunya untuk berbelanja. Mereka melayani dengan baik disertai tutur kata yang menawan. Namun setelah transaksi, konsumen pun 'terpekik'.

[caption caption="Pengunjung menikmati makanan di Los Lambuang Bukittinggi. (FOTO: adalrico.net)"]

[/caption]Bukittinggi kotanya memang indah. Jadi objek kunjungan wisatawan mancanegara dan warga Indonesia dari Sabang-Merauke. Hanya saja yang disesalkan sejak doeloe-nya adalah tamu-tamu sering ‘dipermainkan'. Hal itu jelas memperjelek citra kota wisata ini.

Soal biaya parkir, jangan disebut lagi. Tarif yang ditetapkan pemerintah tidak pernah dipatuhi. Pemilik kendaraan dikenai tarif parkir roda empat minimal Rp 5 ribu. Bahkan, tukang 'palak' parkir tidak segan-segan memeras pendatang hingga Rp 20 ribu. Luar biasa memprihatinkan. 

Meski pemerintah setempat sejak lama sudah menertibkan pelayanan yang tidak baik itu, namun hanya berubah sebentar kemudian berlanjut kembali seperti semula. Yang jadi korban adalah tamu yang berkunjung ke kota wisata ini.

Para tukang pakuak itu sepertinya sudah begitu lihai melihat siapa tamunya. Dengan mendengar dari bahasa serta melihat penampilan, para tukang pakuak itu sudah dapat menerka para pendatang yang akan dijadikan ‘sasarannya’. Celakanya lagi, mereka yang sudah berhasil 'mempermainkan' tamu dengan harga selangit itu tampak merasa senang karena berhasil mendapat keuntungan berlipat-lipat ganda.

Untuk itu, siapapun yang datang ke Bukittinggi memang sangat dibutuhkan kehati-hatian. Perangai mempermainkan tamu yang berkunjung ke Bukittinggi ini sudah jadi rahasia umum bagi masyarakat, termasuk pendatang. Namun, para pemeras itu niscaya akan segera mati kutu. Sebab, seiring berlakunya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), insyaallah akan ada investor yang menanamkan modalnya di Bukittinggi untuk ditawarkan kepada pendatang, baik itu aneka model jahitan dan sulaman, termasuk rumah makan. Tentunya, para investor itu tidak akan memeras tamunya. Karena mereka tahu, jika tamu dan pengunjung tidak nyaman, mereka juga yang akan rugi. Saat itulah, para pemeras dengan beragam jalur bisnis itu akan mati kutu.

Tidak lama lagi, warga asing, Singapura, Brunei, Malaysia, segera menampilkan pelayanan bisnis yang menyegarkan di Sumatra Barat, termasuk di Bukittinggi. Kalau 'urang awak' tidak juga mengubah pola dagangnya, percayalah, tidak akan menunggu waktu lama untuk gulung tikar. Jadilah nanti 'ayam bertelur di atas padi mati kelaparan’.

Supaya yang jelek itu tidak sampai memukul pebisnis di Bukittinggi, jelas kerja keras Pak Wali Kota Ramlan Nurmatias sangat diharapkan. Kan iyo baitu, Pak Wali? Insyaallah! *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun