Suatu malam di warung ayam preksu Deresan. Iyok sembari memarkirkan motornya tepat di depan warung. Helm ditaruh tepat di spion kanan tanpa kunci stang. Segera bapak parkir menghampiri dan menata motor iyok agar masuk rapi sejajar dengan motor lainnya. Sembari masuk, matanya mencari sosok laki-laki lain yang sedang menunggunya sedari tadi.
Tampak seorang pria berbaju kotak-kotak cokelat sembari tertawa kecil melihat layar hapenya. Soni dengan wajah setengah lapar dan ngantuk masih berusaha men-scroll hapenya. Seperti banyak warga millenial lain, ia mengisi waktu luang dengan bisinya media sosial.
"Oyy Son, dah lama?" Iyok menyapa sembari menarik kursi di depan Soni. Ada alasan mengapa Iyok tidak mengambil kursi di sebelah Soni yang juga kosong, karena kebetulan itu adalah meja 4 orang. Terlihat aneh jika dua pria dewasa makan bersebelahan bukan?
"Santuy, pesen yok" ujarnya cepat sembari berdiri untuk memesan. Diikuti Iyok dari belakang.Â
Sederet ayam berjajar di etalase, ditemani terong dan jamur goreng crispy sudah menanti mereka. Iyok bergegas mengambil ayam ukuran besar dan mengantri di belakang Soni.Â
Sambil celingukan, Soni bertanya pada mas pelayan, "Mas, sayurnya abis yak?"Â
"Iya jam segini sudah habis, Mas" ujar mas pelayan singkat. Dibandingkan cabang preksu lain, preksu deresan memang terkenal dengan sayur asemnya yang enak. Tidak bening seperti biasa, sedikit keruh karena banyak bumbu dan segar jika dimakan bersama ayam geprek pedas. Sudahlah, memang hari ini bukan rezeki Soni menikmati sayur asam. Soni mengangguk menerima kenyataan.
"Eh lu minum apaan?" Iyok menyenggol Soni, sebentar lagi mereka akan sampir kasir. Kalau makan di preksu memang langsung bayar dan langsung digeprek ditempat. Bukan dioles kek geprek-geprek lainnya.
"Tuh, lagi promo free refill," Soni mengangkat dagunya mengarah ke tulisan dekat kasir. 'Free Refill Es Teh'
Iyok mengangguk, "Samain yak,"Â
"Oke" jawab Soni.
Sesampainya di meja geprek. "Cabe berapa? Mau pake sambal apa?" tanya mas geprek sembari menunjuk macam sambal yang tersedia. Ada matah, keju, terasi, dan lainnya yang menurut Soni udah keluar dari sekte ayam geprek. Ia mengerutkan wajah, "Original aja mas, cabe 5" ujarnya.
Mas geprek langsung beraksi dengan cobek besarnya. Garam, cabe, bawang putih sepotong kemudian dihaluskan, lalu tambahkan ayam dan geprek hingga tercampur tulang dan daging. Geprek an dituangkan ke dalam piring, kemudian Soni bergegas menuju tempat nasi setelah membayar.
"Mas, saya cabe 3 sama saos keju, sama es teh tadi dua yak" ujar Iyok.
Setelah mengambil nasi Soni dan Iyok pun kembali di tempat duduknya. Mereka segera menyantap hidangan nasional mahasiswa:, ayam geprek.
Ditengah makan, Iyok menyadari sesuatu "Eh ini es teh refill kan yak, kenapa tadi kita ga pesen satu aja ya?" tanyanya.
"Jangan dong," Soni menyahut tidak setuju sembari menguliti tulang yang sudah mulai bersih. "Jangan ... sekarang ngomongnya" lanjutnya sembari tertawa dengan leluconnya sendiri. Iyok mengernyitkan dahi sambil berkata "Heleh".Â
"Eh tapi gua penasaran yak, kenapa cuma es teh gitu yang biasa di refill di warung-warung. Kenapa ga es jeruk atau es susu -eh mahal ni- atau es nutrisari gitu," lanjut Iyok sendiri.
Soni yang hampir menghabiskan nasinya berusaha menanggapi, "Murah, mudah, enak" jawabnya singkat, lalu melanjutkan gepreknya.Â
"Ngobrolin es teh hari ini tu beda Son, gak kayak es teh kemarin," Iyok menambahkan. Sesekali ia membersihkan tulang ayam dan menyeruput es tehnya.
"Oh karna gus dan pak sonhaji yak?" Soni mulai menyambung.
"Lha iyak, bayangin aja minuman lima rebuan gini bisa bikin ribut istana dalam semalam," Iyok menaikkan suaranya.
Sontak Soni menepuknya, isyarat untuk menurunkan tone suara. Beberapa pengunjung lain sempat melirik ke arah mereka.Â
"Minuman mana coba, yang bisa bikin seseorang mundur dari jabatan, sampe pak anwar ibrahim ikutan comment lho," tambahnya sembari melanjutkan makan yang hampir habis.
"Lu nonton video yang belio di panggung sama salah satu srimulat?" tanya Soni yang sudah menghabiskan isi piringnya.
"Oh iya, yang belio bilang - untung jelek, kalau cantik jadi lonte - yang itu kan?". Soni mengangguk.
"Sebenarnya gua lebih tertarik sama respon mpok Yati yang sama sekali gak ngerendahin lawan bicara. Khas Jogja banget,"
"Kayak pas mpok Yati dikatain Bajing sama gus, njuk mpok Yati bilang - Saiki arep enom, sampeyan tetep guruku lho - asli itu kalimat menegur yang sangat sopan dan bijak." Soni melanjutkan.
"Misal, kalau gue di posisi belio, pasti dah gue bilang - maksud lu apa manggil gue begitu?"Â
Iyok mendengarkan.
"Nah, teruskan gus bilang mpok Yati dengan physical shaming. Like - lonte dan sebagainya tu gimana?" Iyok menyambung tanya.
"Bener, habis itu bahkan dikatain demikian, mpok yati tetap balesnya - Sekarang kok ngomongnya kayak gitu. Oh untung Gus, sekarang bukan sedang jadi kiai atau ustadz kan?"Â
"Nah, kalau orang Jogja udah ngomong begitu, tandanya dia udah naik pitam, marah banget," jelas Soni. Maklum dia sudah 7 tahun berkuliah di Jogja.Â
"Beda yak ama orang timur. Kalau gitu mah udah gua sumpel sendal tu mulut dari awal," Iyok menahan kesal. Ayamnya sudah habis tak bersisa, tinggal tulang.
"Bener apalagi di forum seni, yang mpok Yati adalah seniman senior di sana. Tapi beliau masih bisa menyampaikan rasa tidak nyamannya dengan moderat sekali. Cuma ya sepertinya lawan bicaranya itu gak peka," ucap Soni.
Iyok mengangguk mencoba mengingat detail video viral semalam.
"Jujur gua juga kecewa banget sama pilihan kata dan gestur dari Gus ini. Bahkan saat minta maaf ke pak sonhaji pun, lebih tulus Zuko yang minta maaf ke Aang and the gang di buku api," Iyok membenarkan.
"Lah kenapa jadi avatar?"Â
"Soalnya tu gestur minta maafnya terlihat seperti, ahh memang manusia gak bisa melihat isi hati tapi kan isi hati dan kepala biasanya terlihat dari perilaku kita," jelas Iyok.
"Setuju sih, bukan tugasnya manusia menilai hati, tapi tetep aja kita diajarkan untuk berlaku sopan dan lembut kepada yang lebih tua,"Â
Iyok mengangguk sangat setuju.
"Kalau soal pedagang pak sonhaji menurut lu gimana, Son?"
"Gimana apanya?"
"Yang pak Son maju ke dekat panggung dan seolah minta untuk dilariskan gitu," jelas Iyok.
"Hmm..."Â
"Sebenarnya gua agak ga sreg juga sama niat beliau. Sekali lagi manusia gak berkapasitas men-jugde hati manusia lain, tapi jika memang niat belio untuk dilariskan tanpa bersusah payah ya menurut gua ga sepenuhnya salah juga sih,"
"Lah bukannya lu tadi nge-share video ustadz felix bahas belio, kayaknya kok ketangkep gue video tu kayak tidak membenarkan perilaku manusia dengan mental meminta-minta gitu yak?" Iyok membalas. Ia kembali ingin mendengarkan opini temannya ini.
"Sebenarnya itu kan datang dari kebiasaan gus yang suka memborong dagangan saat pengajian, ya gak masalah menurut gua. Mungkin prasangkan gua nih ya, bukan mental meminta, cuma pak sonhaji tu mau cari rezeki tambahan kali aja ada dengan menawarkan dagangan ke gus saat pengajian,"
"Berarti lu setuju dong sama video-video yang suka memborong dagangan orang gitu," tanya Iyok.
"Nah, justru gua gak setuju sama orang-orang yang mendokumentasikan kebaikan untuk keuntungan pribadi. Maksud gua, untuk nge-branding diri mereka kalau mereka tu baik, murah hati, dan suka menolong. Walau di sisi lain menguntungkan buat pedagang juga sih, cuma kan itu sifatnya random. Misal dibuat terorganisi, para pedagang makanan X di kumpulin jadi satu dan dibuat pameran atau acara, maka rezeki akan semakin meluas dampaknya ke banyak orang." jelas Soni.
"Wah gua masih gak paham, emang random salah ya?"Â
"Bukannya salah, kurang tepat aja caranya. Apalagi sampai dipamerkan di media sosyel. Kalau dibuat rapi, kan pedagang bisa berinovasi dengan grobaknya misal, atau dengan harga dan diskon. Jadi ada yang diusahakan, ada usaha yang dilakukan pedagang, sehingga rezeki yang datang sifatnya akan lebih terasa adil dan mensejahterakan"Â
"Tapi kan kalau rapi gitu, duitnya ga cepat Son, usaha dan waktu juga butuh lebih banyak daripada video ngeborong gitu," kata Iyok.
"Yee kan yang dicari dari bekerja itu ga cuma duit Yok,"
"Justru menurut gua, harusnya jadi concern pemerintah kenapa banyak pedagang yang misal tidak lagu dagangannya. Apakah daya beli menurun? Gimana cara ningkatinnya? Ini sebenarnya bakal jadi PR pemerintah, bukan cuma mental tapi ekonomi khususnya." lanjut Soni.
"Lagi pula gak ada larangan buat mereka yang buat video-video borongan gitu." ujar Iyok.
Soni membenarkan setuju. "Makannya, susah juga nge-manage nya. Di sisi lain hal itu menyenangkan dan menghibur, tapi secara gak langsung malah jadi kena mental masyarakatnya,"Â
"Dan kocaknya lagi, setelah peristiwa itu makin banyak orang yang memanfaatkan momen untuk menaikkan nama dan popularitas. Bukan berbagi atas nama ukhuwah lagi,"
"Iya Son, apalagi sedang hangat-hangatnya es teh ini. Eh mana es teh hangat?" Iyok memikirkan leluconnya sendiri kemudian tertawa.
"Bukannya baik Son, mereka kan mau ngebantu Pak Sonhaji bahkan sekeluarganya. Pendidikan anak-anaknya jadi terjamin, dan rumah bahkan ada yang mau membantu. Bener kata lu Son, kalau dikata Pak Sonhaji tu mental peminta, ah gua rasa itu salah. Secara beliau sampai tua pun masih bekerja untuk keluarga. Bahkan setelah cidera dari tukang kayu, sekarang beliau tetap menjemput rezeki dari dagang minuman. Mulia banget sih, salut lah gua,"
"Setuju banget gua Yok. Mungkin ini buat pengingat gua lagi sih, alhamdulillah Pak Sonhaji banyak yang ngebantu. Tapi ngobrolin soal prioritas mahasiswa seperti kita-kita nih, baiknya emang bantu yang terdekat dulu. Sodara, temen kos, temen kuliah, pokoknya yang di depan mata kalau bisa bantu ya bantu aja. Ntar kalau duit kita dah melimpah baru kita bantu yang jauh-jauh."
"Tapi kalau gua mau bantu sodara di palestina gapapa kan, Son?"
"Tolong itu jangan ditanya Yok. Maksud gua, kalau dengan kapasitas kita segini tu memang kewajiban membantu ke sesama dulu, tetangga kek, sodara kek, atau keluarga gitu. Ah elu mah kan elu sendiri yang bilang, bantu depan mata dulu!" ujar Soni sedikit kesal.
Iyok tertawa kecil. "Iye gue inget kok,"
"Ribet bener ini perkara es lima rebuan aja, ckckck..."
"Terus kita kudu gimana ya Son?" lanjut Iyok.
"Pertama, kita kudu refill dulu. Hehe..." Soni berjalan menuju galon es teh dan merefill gelasnya. Iyok mengikuti.
"Es teh hari ini beda Son, bukan es teh yang kemarin," ungkap Iyok sembari melihat gelasnya yang terisi penuh.
Soni menyeruput es teh nya dengan pelan. Sangat menikmati rasa dingin dan segar menutup rasa pedas ayam geprek.
"Hari ini, masyarakat bakal ingat bahwa minuman lima rebuan ini berjasa sebagai pengingat dan simbol sosial terutama adab, profesi, politik, dan tentu saja islam di Indonesia. Karena kan yang disoroti sekarang adalah utusan untuk umat beragama, kebetulan belio islam," jelas Soni.
"Wah iya juga, jadi reminder banget buat gua sih kudu menaruh adab sebelum ilmu. How to respect people lah pokoknya," ujar Iyok.
Kini geprek sudah habis, dan es teh pun sudah di refill ketiga kalinya. Tentu saja tidak ada pelayan yang menengok ke arah mereka, karena hampir semua melakukan hal yang sama. Astaga. Namanya juga mahasiswa, memaksimalkan kebaikan yang bisa didapat sembari mendoakan agar yang punya preksu sehat terus. Aamiin.
-pojokan mushola rumah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI