Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buku, Abu, dan Api yang Tak Pernah Padam

3 Februari 2025   11:30 Diperbarui: 3 Februari 2025   22:01 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu sore di toko buku tua di Jalan Surabaya, Jakarta, seorang pria berdiri lama di depan rak klasik, jari-jarinya menari di punggung buku-buku bersampul coklat usang. Ia mengeluarkan sarung tangan katun putih, membuka halaman pertama Bumi Manusia edisi 1980, lalu mengendus-endusnya seperti seorang sommelier mengecap anggur. "Ini asli," bisiknya pada sang pemilik toko, matanya berbinar. 

Di sudut lain, seorang mahasiswa dengan kaos kusut membolak-balik novel fotokopian Rumah Kaca yang jilidnya diikat karet gelang. Keduanya---sang kolektor dan si pembaca lusuh---adalah dua sisi dari koin yang sama: pengagum Pramoedya Ananta Toer. Tapi sementara yang satu menyembah buku sebagai artefak, yang lain memeluknya sebagai senjata.  

Pram, yang seratus tahun setelah kelahirannya masih jadi hantu yang menghantui rak-rak buku dan ruang pengadilan ide, pernah berkata: "Buku harus dibakar jika tak mampu menggugah manusia." Kalimat itu, seperti kebanyakan ucapannya, adalah pisau bermata dua. 

Di satu sisi, ia menampar kita yang menjadikan buku sebagai dekorasi---benda mati yang kinclong di Instagram tapi bisu di ruang tamu. Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa api yang membakar buku-buku Bumi Manusia di era Orde Baru justru mengubahnya jadi abu yang subur, menyebarkan benih perlawanan ke celah-celah represi.  

***  

Sejarah sastra kita dipenuhi paradoks semacam ini. The Diary of Anne Frank dicetak ulang jutaan kali, tapi salinannya yang asli---dengan coretan-coretan pensil remaja yang gemetar---tetap dikurung dalam kotak kaca di Amsterdam. Di Indonesia, Max Havelaar Multatuli diagungkan sebagai kitab antikolonial, tapi berapa banyak yang benar-benar membacanya hingga halaman terakhir, di mana Sang Penulis menangis: "Aku ingin dibaca!"?  

Pramoedya memahami ambivalensi ini lebih baik daripada siapa pun. Saat naskah Arus Balik disita polisi militer tahun 1981, ia justru menyuruh teman-temannya: "Salinlah dengan tangan, sebarkan dari mulut ke mulut." Bagi dia, buku bukanlah benda suci yang harus dijaga kemurniannya, melainkan pesan dalam botol yang harus sampai ke pantai---meski botolnya pecah, meski air asin mengaburkan tintanya.  

Tapi kita, manusia abad 21 yang hidup di era Goodreads dan BookTok, sering terjebak dalam fetisisme baru. Rak buku kini jadi panggung performativitas: edisi hardcover Haruki Murakami yang belum dibuka, The Great Gatsby dengan sampul emas untuk gaya-gayaan, atau deretan klasik Rusia yang cuma dibaca sepuluh halaman sebelum tertidur. Di forum daring, orang berdebat sengit tentang apakah melipat halaman itu dosa, sementara esensi cerita terlupakan.  

***  

Di sudut lain, ada kisah seorang guru SMA yang aku temui tahun lalu. Di ruang tamunya yang lembap, ia menyimpan tumpukan novel Pramoedya hasil fotokopian---halamannya belel, sampulnya direkatkan lakban. "Setiap kali ada murid mau pinjam, saya bilang: coretlah, tulislah catatan di margin, lipat halaman yang menurutmu penting," katanya. "Buku ini bukan milikku. Ini milik mereka yang belum lahir."  

Cara pandang ini mengingatkanku pada Walter Benjamin, filsuf Jerman yang menulis tentang aura seni di era reproduksi mekanis. Bagi Benjamin, kehilangan "keaslian" justru membebaskan karya dari belenggu elitisme. Fotokopian Rumah Kaca yang harganya sepuluh ribu rupiah itu mungkin tak punya aura edisi pertama, tapi ia punya sesuatu yang lebih berharga: bekas jari-jari berminyak dari ratusan pembaca biasa.  

***  

Tapi di balik romantisme ini, ada pertanyaan yang mengganjal: adakah buku-buku yang pantas kita musnahkan?  

Di rak bukuku sendiri, tersembunyi novel Lupus edisi 1990-an---peninggalan masa SMP ketika aku lebih tertarik pada kisah pacaran remaja ketimbang pergulatan manusia. Setiap kali melihatnya, aku merasa malu; ingin membakarnya, atau menyumbang ke tukang loak. Tapi di sampingnya, ada Tetralogi Buru yang sampulnya koyak karena sempat kena banjir---buku yang dulu kubeli dengan uang jajan selama sebulan, dan mengubah cara pandangku tentang sejarah.  

Pramoedya mungkin akan tertawa melihat dilema ini. Dalam esainya yang pedas, ia pernah mengejek penulis yang "lebih mencintai kata-kata daripada manusia." Baginya, buku adalah anakronisme jika tak hidup dalam tindakan. Bumi Manusia yang dibakar menjadi abu justru menemukan kehidupan baru sebagai cerita lisan, sebagai diskusi gelap di warung kopi, sebagai bisikan antara tahanan politik.  

***  

Di usia seratus tahun Pram, kita bukan hanya mengenang seorang penulis, tapi merenungkan ulang apa artinya membaca. Festival sastra dan pameran buku mewah mungkin diperlukan, tapi yang lebih penting adalah pertanyaan sederhana: apa yang kita lakukan setelah menutup halaman terakhir?  

Di Brasil, gerakan Literatura de Cordel---sastra rakyat yang dicetak murah dan digantung di tali jemuran---menjadikan puisi sebagai barang sehari-hari. Di Islandia, tradisi Jlabkafl menjadikan buku hadiah Natal yang wajib dibaca malam itu juga. Bagaimana dengan kita?  

Mungkin jawabannya ada pada seorang penjual bakso yang kukenal. Setiap Jumat malam, di lapak tendanya yang berasap, ia mengadakan "klub baca" bagi tukang ojek dan penjaga warung. Buku-bukunya---kebanyakan bekas, beberapa fotokopian---disusun di rak bambu. "Kalau ada yang halamannya robek, ya ditempel pakai selotip," katanya. "Yang penting isinya nyampe."  

***  

Di akhir hayatnya, Pramoedya buta sebelah mata dan tangannya gemetar, tapi ia tetap mengetik. Mesin tik tua itu---sekarang terpajang di Museum Nasional---menyimpan bekas jari-jarinya yang melekat pada tuts. Ada yang bilang itu simbol keteguhan, tapi bagiku, itu pengingat yang lebih pahit: bahwa menulis dan membaca selalu adalah pertaruhan.  

Kita bisa memilih menjadi seperti Herodotus, sejarawan Yunani yang menyimpan catatannya di peti mati, atau seperti Sutan Sjahrir, yang menulis surat dari pembuangan di Boven Digoel di atas kertas toilet. Pramoedya memilih jalan kedua: menciptakan karya yang siap menjadi abu, asal apinya tetap menyala.  

Di era algoritma dan budaya cancel, di mana buku-buku bisa "mati" karena satu cuitan, warisan Pram mengajak kita berani kotor. Membaca bukanlah ritual suci, melainkan perjalanan yang mengharuskan kita kehilangan sesuatu: prasangka, zona nyaman, bahkan harga diri.  

Esok hari, ketika melihat tumpukan to-be-read yang menjulang, cobalah tanya: buku mana yang siap kau bawa ke kubur sebagai jimat, dan mana yang rela kau bakar untuk menghangatkan orang lain? Sebab seperti kata Pram dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, "Api kecil di tangan kita lebih baik daripada obor besar di mimpi."  

*** 

Di suatu pagi di Pulau Buru, tahun 1973, seorang tahanan politik menyelinap ke barak Pramoedya. "Mas, naskah Bumi Manusia disita lagi," bisiknya. Pram mengangguk, lalu membuka laci kayu lapuk. Di dalamnya ada puluhan lembar kertas bekas, ditulisi huruf-huruf kecil rapat. "Salinlah," katanya. "Lalu berikan pada angin."  

Seratus tahun kemudian, angin itu masih berhembus---membawa abu yang menjadi pupuk, membawa halaman-halaman yang disobek jadi origami harapan. Soal apakah kita menyimpannya di rak emas atau menjadikannya alas mangkuk soto, biarlah waktu yang menjawab. Yang pasti, selama masih ada yang membaca sambil mengepalkan tangan, atau tertawa geli lalu menangis, Pramoedya tetap hidup: bukan sebagai patung, tapi sebagai api.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun