Di era algoritma dan budaya cancel, di mana buku-buku bisa "mati" karena satu cuitan, warisan Pram mengajak kita berani kotor. Membaca bukanlah ritual suci, melainkan perjalanan yang mengharuskan kita kehilangan sesuatu: prasangka, zona nyaman, bahkan harga diri. Â
Esok hari, ketika melihat tumpukan to-be-read yang menjulang, cobalah tanya: buku mana yang siap kau bawa ke kubur sebagai jimat, dan mana yang rela kau bakar untuk menghangatkan orang lain? Sebab seperti kata Pram dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, "Api kecil di tangan kita lebih baik daripada obor besar di mimpi." Â
***Â
Di suatu pagi di Pulau Buru, tahun 1973, seorang tahanan politik menyelinap ke barak Pramoedya. "Mas, naskah Bumi Manusia disita lagi," bisiknya. Pram mengangguk, lalu membuka laci kayu lapuk. Di dalamnya ada puluhan lembar kertas bekas, ditulisi huruf-huruf kecil rapat. "Salinlah," katanya. "Lalu berikan pada angin." Â
Seratus tahun kemudian, angin itu masih berhembus---membawa abu yang menjadi pupuk, membawa halaman-halaman yang disobek jadi origami harapan. Soal apakah kita menyimpannya di rak emas atau menjadikannya alas mangkuk soto, biarlah waktu yang menjawab. Yang pasti, selama masih ada yang membaca sambil mengepalkan tangan, atau tertawa geli lalu menangis, Pramoedya tetap hidup: bukan sebagai patung, tapi sebagai api.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI