Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buku, Abu, dan Api yang Tak Pernah Padam

3 Februari 2025   11:30 Diperbarui: 3 Februari 2025   11:38 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

***  

Tapi di balik romantisme ini, ada pertanyaan yang mengganjal: adakah buku-buku yang pantas kita musnahkan?  

Di rak bukuku sendiri, tersembunyi novel Lupus edisi 1990-an---peninggalan masa SMP ketika aku lebih tertarik pada kisah pacaran remaja ketimbang pergulatan manusia. Setiap kali melihatnya, aku merasa malu; ingin membakarnya, atau menyumbang ke tukang loak. Tapi di sampingnya, ada Tetralogi Buru yang sampulnya koyak karena sempat kena banjir---buku yang dulu kubeli dengan uang jajan selama sebulan, dan mengubah cara pandangku tentang sejarah.  

Pramoedya mungkin akan tertawa melihat dilema ini. Dalam esainya yang pedas, ia pernah mengejek penulis yang "lebih mencintai kata-kata daripada manusia." Baginya, buku adalah anakronisme jika tak hidup dalam tindakan. Bumi Manusia yang dibakar menjadi abu justru menemukan kehidupan baru sebagai cerita lisan, sebagai diskusi gelap di warung kopi, sebagai bisikan antara tahanan politik.  

***  

Di usia seratus tahun Pram, kita bukan hanya mengenang seorang penulis, tapi merenungkan ulang apa artinya membaca. Festival sastra dan pameran buku mewah mungkin diperlukan, tapi yang lebih penting adalah pertanyaan sederhana: apa yang kita lakukan setelah menutup halaman terakhir?  

Di Brasil, gerakan Literatura de Cordel---sastra rakyat yang dicetak murah dan digantung di tali jemuran---menjadikan puisi sebagai barang sehari-hari. Di Islandia, tradisi Jlabkafl menjadikan buku hadiah Natal yang wajib dibaca malam itu juga. Bagaimana dengan kita?  

Mungkin jawabannya ada pada seorang penjual bakso yang kukenal. Setiap Jumat malam, di lapak tendanya yang berasap, ia mengadakan "klub baca" bagi tukang ojek dan penjaga warung. Buku-bukunya---kebanyakan bekas, beberapa fotokopian---disusun di rak bambu. "Kalau ada yang halamannya robek, ya ditempel pakai selotip," katanya. "Yang penting isinya nyampe."  

***  

Di akhir hayatnya, Pramoedya buta sebelah mata dan tangannya gemetar, tapi ia tetap mengetik. Mesin tik tua itu---sekarang terpajang di Museum Nasional---menyimpan bekas jari-jarinya yang melekat pada tuts. Ada yang bilang itu simbol keteguhan, tapi bagiku, itu pengingat yang lebih pahit: bahwa menulis dan membaca selalu adalah pertaruhan.  

Kita bisa memilih menjadi seperti Herodotus, sejarawan Yunani yang menyimpan catatannya di peti mati, atau seperti Sutan Sjahrir, yang menulis surat dari pembuangan di Boven Digoel di atas kertas toilet. Pramoedya memilih jalan kedua: menciptakan karya yang siap menjadi abu, asal apinya tetap menyala.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun