Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buku, Abu, dan Api yang Tak Pernah Padam

3 Februari 2025   11:30 Diperbarui: 3 Februari 2025   11:38 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu sore di toko buku tua di Jalan Surabaya, Jakarta, seorang pria berdiri lama di depan rak klasik, jari-jarinya menari di punggung buku-buku bersampul coklat usang. Ia mengeluarkan sarung tangan katun putih, membuka halaman pertama Bumi Manusia edisi 1980, lalu mengendus-endusnya seperti seorang sommelier mengecap anggur. "Ini asli," bisiknya pada sang pemilik toko, matanya berbinar. 

Di sudut lain, seorang mahasiswa dengan kaos kusut membolak-balik novel fotokopian Rumah Kaca yang jilidnya diikat karet gelang. Keduanya---sang kolektor dan si pembaca lusuh---adalah dua sisi dari koin yang sama: pengagum Pramoedya Ananta Toer. Tapi sementara yang satu menyembah buku sebagai artefak, yang lain memeluknya sebagai senjata.  

Pram, yang seratus tahun setelah kelahirannya masih jadi hantu yang menghantui rak-rak buku dan ruang pengadilan ide, pernah berkata: "Buku harus dibakar jika tak mampu menggugah manusia." Kalimat itu, seperti kebanyakan ucapannya, adalah pisau bermata dua. 

Di satu sisi, ia menampar kita yang menjadikan buku sebagai dekorasi---benda mati yang kinclong di Instagram tapi bisu di ruang tamu. Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa api yang membakar buku-buku Bumi Manusia di era Orde Baru justru mengubahnya jadi abu yang subur, menyebarkan benih perlawanan ke celah-celah represi.  

***  

Sejarah sastra kita dipenuhi paradoks semacam ini. The Diary of Anne Frank dicetak ulang jutaan kali, tapi salinannya yang asli---dengan coretan-coretan pensil remaja yang gemetar---tetap dikurung dalam kotak kaca di Amsterdam. Di Indonesia, Max Havelaar Multatuli diagungkan sebagai kitab antikolonial, tapi berapa banyak yang benar-benar membacanya hingga halaman terakhir, di mana Sang Penulis menangis: "Aku ingin dibaca!"?  

Pramoedya memahami ambivalensi ini lebih baik daripada siapa pun. Saat naskah Arus Balik disita polisi militer tahun 1981, ia justru menyuruh teman-temannya: "Salinlah dengan tangan, sebarkan dari mulut ke mulut." Bagi dia, buku bukanlah benda suci yang harus dijaga kemurniannya, melainkan pesan dalam botol yang harus sampai ke pantai---meski botolnya pecah, meski air asin mengaburkan tintanya.  

Tapi kita, manusia abad 21 yang hidup di era Goodreads dan BookTok, sering terjebak dalam fetisisme baru. Rak buku kini jadi panggung performativitas: edisi hardcover Haruki Murakami yang belum dibuka, The Great Gatsby dengan sampul emas untuk gaya-gayaan, atau deretan klasik Rusia yang cuma dibaca sepuluh halaman sebelum tertidur. Di forum daring, orang berdebat sengit tentang apakah melipat halaman itu dosa, sementara esensi cerita terlupakan.  

***  

Di sudut lain, ada kisah seorang guru SMA yang aku temui tahun lalu. Di ruang tamunya yang lembap, ia menyimpan tumpukan novel Pramoedya hasil fotokopian---halamannya belel, sampulnya direkatkan lakban. "Setiap kali ada murid mau pinjam, saya bilang: coretlah, tulislah catatan di margin, lipat halaman yang menurutmu penting," katanya. "Buku ini bukan milikku. Ini milik mereka yang belum lahir."  

Cara pandang ini mengingatkanku pada Walter Benjamin, filsuf Jerman yang menulis tentang aura seni di era reproduksi mekanis. Bagi Benjamin, kehilangan "keaslian" justru membebaskan karya dari belenggu elitisme. Fotokopian Rumah Kaca yang harganya sepuluh ribu rupiah itu mungkin tak punya aura edisi pertama, tapi ia punya sesuatu yang lebih berharga: bekas jari-jari berminyak dari ratusan pembaca biasa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun