Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dompet

3 Februari 2025   09:36 Diperbarui: 3 Februari 2025   17:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menemukan dompetku sedang berjalan di atas genteng rumah tetangga pukul tiga pagi. 

Dompet kulit coklat tua itu melangkah pelan, tapak koin receh di sela-sela retakan genting berdecit seperti kuku kucing di atas seng. Aku tahu itu dompetku karena ada stiker "Slow Living is Dying" yang ku tempel bulan lalu, tepat di samping kartu anggota perpustakaan yang belum pernah kugunakan. Dompet itu berjalan ke barat, ke arah bulan purnama, sementara isinya---lima puluh ribu rupiah terakhirku---berkibar seperti insang ikan lemas. 

"Hey!" teriakku, separuh tubuh menggantung dari jendela kamar mandi. Tapi dompet itu malah mempercepat langkah, melompat ke atap berikutnya, dan uang-uang kertas mulai berjatuhan satu per satu, tertiup angin malam ke arah selokan. Aku memungut gayung plastik merah di bak mandi, mengira-ngira jarak lompatan ke genteng. Tapi sebelum sempat melompat, telepon di saku celana berbunyi. 

"Kamu transfer belum?" suara Bos Besar di seberang, berat seperti batu nisan. "Klien mau DP jam enam pagi ini. Kita kena denda kalau telat."

Aku menatap dompet yang kini sudah sampai di ujung gang, uang terakhirku tinggal selembar tersangkut di jeruji jendela warung Mi Ayam. "Masih di proses," jawabku sambil membayangkan dompet itu tiba-tiba berbalik, tersenyum getir, dan berkata, "Kau pikir duitmu cukup buat jadi orang baik?" 

*** 

Baca juga: Lubang

Seminggu sebelumnya, aku menghadiri workshop "Menjadi Pemimpin untuk Dirimu Sendiri" di sebuah co-working space yang dindingnya dipenuhi poster motivasi dengan font-font sans-serif. "Prioritasmu adalah peta jiwa!" teriak mentor di depan, seorang lelaki berkaos oblong bertuliskan "Hustle Now, Cry Later". Aku mencatat rajin di notes iPhone: Alokasi waktu vs uang = cermin kepemimpinan sejati. Tapi ketika sesi break, yang kubeli adalah kopi instan sachet dari mesin vending, bukan cold brew seharga 50 ribu seperti peserta lain. Dompetku bergetar dingin di saku.

Malamnya, aku membuat spreadsheet alokasi anggaran. Kolom "Piknik & Healing" kusiapkan 40%, tapi setelah di-total, angka itu tergerus oleh tagihan listrik yang membengkak, biaya servis laptop yang tiba-tiba ngehang saat deadline, dan diskon membership gym yang "hanya berlaku hari ini". Di tab "Pengeluaran Tak Terduga", angkanya meledak seperti bisul. Aku mematikan laptop, lalu menatap langit-langit kamar yang ternoda rembesan air hujan membentuk wajah-wajah mengejek. 

*** 

Dompetku mulai menunjukkan gejala aneh dua hari setelah workshop. Pertama, ia menolak dibuka setiap kali aku ingin mengambil uang untuk membayar paket data. "Ini demi masa depanmu," gumamnya suatu sore, suaranya seperti gesekan kertas amplas. Keesokan pagi, ia menghilang dari meja kerja, dan kutemukan di bawah bantal dengan posisi menggenggam kartu kredit seperti pisau. 

"Aku capek jadi alat hipokrisimu," protesnya saat kuremas-remas mencoba membuka resletingnya yang macet. "Kau bilang prioritasmu adalah melihat dunia, tapi uangmu selalu berakhir di gerai-gerai darurat!" 

Aku mencoba bernegosiasi. "Bagaimana kalau 30% untuk tagihan, 30% untuk traveling?" 

Dompet mengeluarkan suara decak. "Kau bahkan tidak bisa jujur pada spreadsheet-mu sendiri." 

*** 

Sekarang, di atap tetangga, dompet itu melompat ke kabel listrik, bergelayut seperti bajak laut di tali kapal. Uang terakhirku---selembar lima puluh ribu yang sudah kusimpan untuk tiket kereta ke kampung nenek---terbang melayang ke dalam selokan. Aku mendengar suara cekikikan dari bawah, di mana seekor tikus besar sedang melipat uang itu menjadi origami perahu. 

"Kembalikan!" raungku, tapi tikus itu sudah menghilang di balik pintu sampah. 

Bos Besar menelepon lagi. "Transfer sekarang, atau kau bisa cari kerja lain." 

Aku menatap dompet yang kini berdiri di puncak menara air, kedua resletingnya terkembang seperti sayap. "Aku tidak bisa mengejarmu lagi," kataku, suara serak. "Aku punya tanggung jawab." 

Dompet itu tertawa, getir. "Tanggung jawab pada siapa? Bos yang menggajimu separuh UMR? Atau dirimu sendiri yang kau bohongi tiap pagi?" 

Tiba-tiba, kartu-kartu di dalamnya melesat keluar, berterbangan membentuk formasi burung bangau. Kartu anggota perpustakaan, kartu vaksin, bahkan karcis parkir dari tahun lalu---semuanya berputar di atas kepalaku seperti badai dedaunan. 

"Kau pilih uang atau peta jiwamu?" teriak dompet itu, suaranya semakin jauh. 

Aku mengambil gayung plastik, mengisinya dengan air kotor dari bak mandi, dan melemparkannya ke langit. 

*** 

Air itu jatuh sebagai hujan. 

Dompetku basah kuyup, terjatuh dari menara air ke dalam ember cucian Ibu Susi tetangga sebelah. Kutemukan ia tenggelam di antara busa deterjen dan kaos dalam motif bunga. 

"Maaf," bisikku sambil mengeluarkannya, air sabun menetes dari sudut-sudut kulitnya yang keriput. 

"Kau selalu minta maaf," gumam dompet itu, resletingnya setengah terbuka menunjukkan foto lama keluargaku yang sudah luntur. "Tapi kau tidak pernah berubah." 

Aku membawanya pulang, mengangin-anginkan di depan kipas. Bos Besar mengirim 15 pesan suara, tapi aku mematikan telepon. Di spreadsheet, ku hapus semua kolom. Mulai baru dengan satu baris: 

"Hari ini, aku akan berjalan ke stasiun, dan naik kereta tanpa tiket. Aku akan duduk di gerbong terakhir, menghirup udara yang tidak diukur oleh aplikasi keuangan. Dompetku mungkin akan protes lagi, tapi kali ini, aku akan mendengarkannya---bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai teman yang tersesat di jalur yang sama." 

Dompet itu mendengkur pelan di samping laptop, masih basah, tapi tidur nyenyak untuk pertama kalinya. 

Di luar, tikus-tikus sedang berpesta dengan origami perahu uang kertas di selokan. Mereka menyanyikan lagu yang terdengar seperti tangisan, tapi juga tawa. 

Dan aku? Aku masih di sini, mencoba tidak menghitung berapa kata yang sudah kutulis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun