***Â
Air itu jatuh sebagai hujan.Â
Dompetku basah kuyup, terjatuh dari menara air ke dalam ember cucian Ibu Susi tetangga sebelah. Kutemukan ia tenggelam di antara busa deterjen dan kaos dalam motif bunga.Â
"Maaf," bisikku sambil mengeluarkannya, air sabun menetes dari sudut-sudut kulitnya yang keriput.Â
"Kau selalu minta maaf," gumam dompet itu, resletingnya setengah terbuka menunjukkan foto lama keluargaku yang sudah luntur. "Tapi kau tidak pernah berubah."Â
Aku membawanya pulang, mengangin-anginkan di depan kipas. Bos Besar mengirim 15 pesan suara, tapi aku mematikan telepon. Di spreadsheet, ku hapus semua kolom. Mulai baru dengan satu baris:Â
"Hari ini, aku akan berjalan ke stasiun, dan naik kereta tanpa tiket. Aku akan duduk di gerbong terakhir, menghirup udara yang tidak diukur oleh aplikasi keuangan. Dompetku mungkin akan protes lagi, tapi kali ini, aku akan mendengarkannya---bukan sebagai pemimpin, tapi sebagai teman yang tersesat di jalur yang sama."Â
Dompet itu mendengkur pelan di samping laptop, masih basah, tapi tidur nyenyak untuk pertama kalinya.Â
Di luar, tikus-tikus sedang berpesta dengan origami perahu uang kertas di selokan. Mereka menyanyikan lagu yang terdengar seperti tangisan, tapi juga tawa.Â
Dan aku? Aku masih di sini, mencoba tidak menghitung berapa kata yang sudah kutulis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI