Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pita Merah di Trotoar

26 Januari 2025   09:31 Diperbarui: 26 Januari 2025   09:31 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku bertemu Bapak itu pada suatu sore yang tenang di trotoar dekat toko roti. 

Sebuah tas belanjaan kertas cokelat menjuntai di tangannya, berisi roti tawar dan dua botol susu. Aku tahu jumlah pastinya karena salah satu botol menyembul dari atas, terlihat seperti kepala kecil yang botak dan mengkilap. Ia berdiri di sana, memandangi sebuah trotoar yang retak, seakan retakan itu mengandung peta rahasia yang hanya ia yang bisa baca.

"Mencari sesuatu, Pak?" tanyaku. Nada suaraku terdengar iseng, seperti mengomentari cuaca, tapi mata tuanya langsung mengangkat wajah, seperti aku telah mengganggunya dari sebuah ritual suci.

"Bukan sesuatu," jawabnya pelan. "Seseorang."

Kalimat itu membuatku diam. Sore itu tiba-tiba terasa lebih dingin, meski matahari masih bercokol di langit barat. Angin menggigit dengan lembut, menghembuskan bau bunga-bunga di taman kecil dekat kami.

"Siapa?" tanyaku akhirnya. Pertanyaan itu meluncur begitu saja, lebih karena keingintahuan daripada empati.

Bapak itu menghela napas, lalu tersenyum kecil. Gigi depannya sedikit renggang, dan senyuman itu lebih terasa seperti refleks daripada kebahagiaan. "Anak perempuan saya."

Aku menatapnya, berusaha mencocokkan informasi baru ini dengan pria tua di depanku. Kulitnya keriput tapi bersih, rambut putihnya ditata rapi, dan kemeja birunya disetrika dengan sempurna. Ini bukan tipe orang yang hilang arah atau pikiran.

"Berarti dia di sekitar sini?" tanyaku lagi, sedikit lebih serius.

"Mungkin. Mungkin tidak. Kadang dia muncul di tempat yang sama. Kadang tidak." Jawabannya terasa seperti teka-teki.

Aku tak tahu mengapa, tapi aku tidak bisa pergi begitu saja. Ada sesuatu dalam caranya memandang trotoar itu, seperti tempat itu menyimpan jejak kenangan yang rapuh. Aku memutuskan untuk menemaninya sejenak, meski aku punya tempat lain yang harus kudatangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun