"Baiklah," kataku. "Mungkin aku melakukannya karena aku ingin merasa seperti orang baik. Itu jawaban yang lebih jujur, kan? Kau pasti berpikir aku ini egois. Aku menyelamatkanmu bukan karena aku peduli padamu, tapi karena aku peduli pada diriku sendiri."
Aku tertawa kecil. Burung itu memiringkan kepalanya sedikit, lalu menutup matanya lagi.
**
Aku tidak tahu berapa lama aku duduk di sana, tapi aku tahu burung itu tidak akan hidup lama. Napasnya semakin pelan, dan aku mulai merasa bahwa semua ini sia-sia. Mungkin aku seharusnya meninggalkannya tadi. Mungkin dia memang sudah waktunya mati, dan aku hanya memperlambat sesuatu yang tidak bisa dihindari.
"Maaf," kataku pelan. "Aku mencoba. Tapi aku rasa ini tidak cukup."
Tapi saat aku hendak berdiri, seorang pria tua berjalan mendekat. Dia membawa kantong plastik berisi roti, dan dia menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Aku tidak tahu apakah dia marah, penasaran, atau hanya bingung.
"Burung itu sakit?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Aku menemukannya di trotoar."
Pria itu berjongkok di sebelahku. Dia membuka kantong plastiknya, mengeluarkan sepotong roti, dan mulai meremahkannya. Aku ingin mengatakan bahwa burung ini tidak mungkin makan, tapi aku tidak punya energi untuk menjelaskan. Jadi aku hanya diam dan melihat.
Dia meletakkan remah-remah roti di depan paruh burung itu. Untuk sesaat, tidak ada yang terjadi. Lalu, tiba-tiba, burung itu membuka matanya lagi. Dengan gerakan yang hampir tak terlihat, dia mencoba mematuk salah satu remah roti itu.
Aku terkejut. Pria tua itu hanya tersenyum.