Di bawah gemerlap promosi kendaraan listrik dan gencarnya kampanye transportasi publik, ada pemandangan yang terus berulang di jalanan Indonesia: parkir liar yang menjamur di mana-mana. Dari gang sempit hingga boulevard megah, mobil-mobil terparkir seperti cendawan setelah hujan, memenuhi setiap celah jalan.
Masalah ini bukan sekadar gangguan visual atau penyebab kemacetan. Ia adalah cerminan dari kontradiksi besar: pemerintah yang sibuk mendongkrak angka penjualan kendaraan dan masyarakat yang terus mengamini narasi tersebut, sementara ruang untuk kendaraan itu tak pernah cukup disediakan.
Dorongan untuk Membeli Mobil
Ada ironi besar dalam kebijakan pemerintah terkait kendaraan bermotor. Di satu sisi, mereka mengkampanyekan pentingnya transportasi publik untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.Â
Namun di sisi lain, mereka justru gencar mendorong masyarakat untuk membeli mobil, baik melalui insentif pajak, kemudahan kredit, hingga program subsidi kendaraan listrik.
Sejak pandemi, misalnya, pemerintah memberikan insentif besar-besaran untuk mendorong pemulihan industri otomotif. Diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil tertentu menjadi salah satu andalan.Â
Hasilnya? Penjualan mobil melonjak, dan jalan-jalan di kota besar semakin sesak. Namun, di mana mobil-mobil ini akan diparkir? Pertanyaan ini seolah-olah tak pernah mendapat jawaban serius.
Keinginan pemerintah untuk terus meningkatkan pendapatan dari sektor otomotif tampak jelas. Pajak penjualan, pajak tahunan kendaraan, hingga industri pendukung seperti asuransi dan leasing memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara.Â
Namun, yang tak kalah penting adalah keuntungan politik. Industri otomotif menyerap jutaan tenaga kerja, dari pabrik hingga jaringan dealer. Stabilitas sektor ini dianggap penting, meski dampaknya pada lingkungan dan tata ruang semakin berat.
Wacana kendaraan listrik, yang diharapkan menjadi solusi untuk masalah polusi, menambah lapisan kompleksitas baru.Â
Pemerintah mendorong masyarakat beralih ke mobil listrik dengan subsidi besar, mengabaikan fakta bahwa infrastruktur seperti stasiun pengisian dan parkir untuk kendaraan ini belum memadai.Â