Pertama kali mendengar program makanan bergizi dari pemerintah untuk anak-anak sekolah---pakai ikan kaleng, jelas bikin saya tertarik. Ada sesuatu yang khas Indonesia di sini: laut dan ikan.
Tapi, kemudian ada juga pertanyaan iseng yang muncul, gimana kalau anak-anak enggak cuma makan ikan laut, tapi juga ikan air tawar yang juga melimpah di Indonesia?
Lele, nila, patin, gurame---ini jenis ikan yang udah jadi bagian dari hidup banyak orang. Menarik kan, kalau kolaborasi ini bisa bikin program jadi lebih luas, lebih beragam.
Coba deh, bayangkan. Kita punya laut yang panjangnya enggak tanggung-tanggung, tapi kita juga punya desa-desa pembudidaya ikan yang ikannya enggak kalah enak.
Potensinya gede, dan siapa tahu, program ini bisa membawa anak-anak makan ikan kaleng yang lebih variatif.
Dan bukan cuma soal makanannya doang, ini juga soal melibatkan para pembudidaya ikan air tawar yang punya peran besar dalam ekonomi di desanya. Menarik bukan?
Ikan Kaleng Bukan Sekadar Ikan Kaleng
Pikirkan begini, anak-anak sekolah makan ikan kaleng setiap hari di kantin sekolah. Itu bisa jadi ikan dari laut, bisa juga ikan dari kolam-kolam dari desa sebelah.
Sederhana, tapi siapa yang tahu kalau dibalik itu ada ekonomi desa yang juga ikut jalan?
Para pembudidaya ikan air tawar yang selama ini mungkin nggak bisa langsung kirim ikan segar ke kota karena logistik yang ribet, bisa ikut andil dengan menyuplai ikan yang dibekukan atau diawetkan.
Setiap ikan kaleng yang sampai ke sekolah-sekolah, bukan cuma simbol laut Indonesia yang luas tapi juga menawarkan ragam ikan air tawar kita yang juga kaya.
Lalu, Gimana Caranya Biar Semua Ini Jalan?
Gampang diomongin, ya. Realitanya? Nggak segampang itu. Ngelibatin nelayan dan pembudidaya ikan air tawar artinya harus ada jaminan kualitas dan distribusi yang solid.
Jangan sampai niat bagus ini malah bikin ribet di tengah jalan.
Tapi coba kita tengok Jepang atau Norwegia. Jepang punya sistem pengelolaan ikan yang cerdas, yang bisa ngatur stok, memeriksa kualitas dari nelayan sampai ke kaleng terakhir.
Lalu Norwegia, mereka udah biasa pakai konsep hub distribusi, pusat pengolahan di titik-titik strategis yang ngegabungin ikan dari berbagai tempat sebelum dikirim ke pasar (Norwegian Seafood Council, 2021).
Indonesia bisa banget belajar dari sini. Bayangin, misalnya, ada hub pengolahan ikan di Pulau Jawa buat ikan air tawar dan di kawasan timur buat ikan laut.
Dua jenis ikan ini bisa sampai dengan kualitas yang sama ke sekolah-sekolah di mana pun itu.
Sertifikasi dan Insentif? Kenapa Nggak?
Ini hal yang nggak kalah penting, standarisasi. Nelayan besar mungkin udah biasa dengan urusan kualitas dan sertifikasi.
Tapi gimana dengan pembudidaya kecil yang biasanya nggak main ke standar tinggi? Pemerintah bisa bikin program sertifikasi khusus untuk mereka.
Sertifikat itu penting banget buat jamin kualitas setiap kaleng yang nyampe ke anak-anak.
Dan, kalau bisa sertifikasi, kenapa nggak sekalian kasih insentif buat pembudidaya yang mau serius ikut standar itu?
Di Thailand ada program yang namanya One Tambon One Product (OTOP), yang ngedukung UMKM lokal buat ngehasilin produk unggulan daerah (Thailand Government Public Relations Department, 2021).
Jadi kalau kita bisa bikin program serupa, para pembudidaya ini bakal dapet subsidi atau dukungan teknologi buat ngejaga kualitas produk mereka, dari kolam sampai ke kaleng. Hasilnya? Kualitas terjamin, ekonomi lokal pun tidak terpinggirkan.
Nggak Cuma Ikan Laut, tapi Juga Ikan Air Tawar
Siapa yang nggak suka variasi, ya kan? Apalagi soal makanan. Kalau anak-anak ini makan ikan kaleng setiap hari, mungkin perlu ada sesuatu yang beda tiap minggunya biar mereka nggak bosan.
Kita tahu Jepang sukses bikin variasi rasa dalam produk ikan kaleng mereka---ada yang rasa miso, kecap asin, bahkan rasa kari (Japanese Fishery Agency, 2020).
Nah, kalau di sini? Bayangin ikan lele atau nila yang dibikin dalam kaleng dengan bumbu balado atau rendang.
Selera anak-anak Indonesia pasti kena banget, dan ini bisa jadi cara jitu untuk ngenalin berbagai macam ikan, bukan cuma tuna atau tongkol.
Teknologi Digital Buat Pantau Kualitas
Mungkin kedengerannya ribet, tapi teknologi sekarang tuh udah canggih banget.
Di Islandia, mereka udah mulai pakai teknologi blockchain buat ngelacak produk ikan dari laut sampai ke tangan pembeli (Iceland Responsible Fisheries, 2022).
Jadi semua orang bisa tahu dari mana ikan itu berasal, siapa yang mengolah, dan gimana kualitasnya dijaga sepanjang perjalanan.
Indonesia bisa juga nih, pake aplikasi atau sistem pelacakan yang lebih sederhana. Misalnya, setiap nelayan, pembudidaya, dan perusahaan pengalengan yang tergabung bisa input data soal kualitas dan kuantitas produk mereka.
Pemerintah bisa ngawasin ini semua, dan kalau ada kendala kualitas, mereka langsung tahu harus memperbaiki dari mana.
Makin transparan, makin gampang ngawasin standar, makin stabil pasokan untuk program MBG.
Jadi, Mau Ngomong Apa Lagi?
Nggak perlu muluk-muluk. Program Makanan Bergizi Gratis ini udah cukup keren.
Program ikan kaleng sebenarnya bukan hanya soal menyediakan makanan untuk anak sekolah, tapi juga soal sinergitas antara banyak pihak yang punya peran penting dalam mencapai tujuan bersama.
Dari pemerintah, perusahaan pengalengan, nelayan, pembudidaya ikan air tawar, hingga teknologi blockchain, semuanya punya peran krusial.
Dengan sistem yang terkontrol dan transparan, produk ikan kaleng bisa menjamin kualitas dan keamanannya.
Apalagi kalau ikan air tawar juga dilibatkan, anak-anak di sekolah nggak cuma dapat gizi lengkap, tapi juga ikut mendukung ekonomi lokal.
Dengan pendekatan ini, program ini bukan hanya jadi proyek negara, tapi mungkin saja akan menjadi sebuah gerakan bersama yang bermanfaat untuk semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI